"BOTAK LO!! BERHENTI DI SITU!!"

Alfa berdecak beberapa kali. Kepalanya menggeleng pelan. Ia hadapkan atensinya pada mading seperti beberapa menit sebelumnya. Lantas kembali memikirkan banyak hal.

Hingga tabrakan yang lumayan keras berhasil membawa Alfa kembali pada dunia nyata. Pemuda itu hanya bergeser ke samping saat tubuhnya bertubrukan dengan siswi berambut panjang tergerai berantakan yang Alfa tebak adalah pentolan sekolahnya. Matanya memicing, menatap nanar tubuh ringkih gadis yang baru saja menabraknya tersungkur pada dinginnya lantai sekolahan.

Kembali berdecak. Kembali menggeleng pelan. "Gak nyangka kehidupan anak sekolah menengah pertama harus ketemu orang-orang bar-bar kayak gini. Lo gak liat badan gue udah segede tower menara Eiffel, masih aja ditabrak," ujarnya pelan dan datar.

Gadis itu mendongak menatap Alfa dengan kilatan amarah yang membuat siapa pun pasti bergidik ketika menatapnya. Lantas menggeram kesal. "Siapa suruh berdiri di tengah koridor! Lampu merah aja tau minggir," ucap gadis itu yang membuat dahi Alfa berkerut samar.

Alfa menarik kerah seragam gadis bersurai acak-acakan tersebut sebelum gadis itu hendak kembali berlari. "Anjir, Yuna? Lo ngapain, sih?"

"Lepasin, njing! Gue harus nolongin si pala botak dari si cempreng barusan. Kasian banget mukanya udah melas tadi," ucap Yuna cepat sembari berusaha melepas tangan Alfa dari kerah seragamnya.

Alfa menggelengkan kepalanya cepat. Sadar ternyata ia tak mengenali kembarannya untuk sejenak. "Gue paham lo tergila-gila jadi Power Rangers. Tapi gak gini caranya, gak gini kalau mau nolong orang."

"Terus gimana caranya?"

"Sempak lo mesti di luar," ujar Alfa enteng. Kemudian melepas cengkeramannya dari kerah Yuna.

Yuna berdecak semakin kesal. Wajahnya sudah memerah padam. "Bacot ya, lo, Al! Berantemnya nanti aja kalau gue ada waktu, sekarang gue harus caper jadi super hero dadakan supaya si korban mau traktir gue bakso isi telor! Bye!" Kemudian gadis itu berlari secepat kilat hingga punggungan tak terlihat lagi saat berbelok di ujung koridor.

Alfa memicingkan mata. Pemuda itu pikir, Yuna masih berduka, bersedih ria. Ternyata prasangkanya salah. Pantas saja ia tak merasakan apa pun, toh, kembarannya memang tidak apa-apa.

Tiba-tiba pemuda berkulit sedikit lebih gelap darinya mendadak berdiri menutup daya lihat Alfa yang masih menatap koridor di mana Yuna menghilang barusan. Pemuda itu tak memedulikan Alfa karena pandangannya fokus pada mading sekolah. Sembari mulutnya sibuk mengunyah batagor berbungkus plastik yang Alfa yakin beli di kantin belakang. "Januari ...," desis pemuda itu pelan.

Kening Alfa berkerut samar. Menatap pemuda di depannya dari ujung kaki sampai ujung rambutnya yang berwarna hitam legam. Menurut penglihatan Alfa, bisa Alfa yakini bahwa pemuda itu cukup tengil. Dalam hati ber oh ria. Saat nama Januari mengalun dari bibirnya yang basah akibat saus kacang bumbu batagor. Lantas ikut kembali menatap mading, dan menemukan nama Januari Candramawa yang tertera di daftar kelas yang sama dengannya.

"Januari," ujar pemuda itu lagi. "Pasti lahirnya Desember."

Freak! oceh Alfa dalam hati. Ya, Maret-lah!

"Lo mau tau gak?" kata pemuda itu mulai membuka pembicaraan.

Awalnya Alfa pikir pemuda itu sedang tidak bertanya kepadanya mengingat mereka berdua tidak saling kenal, tapi saat tangan pemuda itu tiba-tiba menepuk pelan bokongnya yang berhasil membuat tubuh Alfa membeku di tempat untuk beberapa saat, Alfa benar-benar yakin bahwa orang freak itu tengah berbicara kepadanya.

RECAKAWhere stories live. Discover now