28 || Sakit Jiwa

169 41 41
                                    

㋛︎

Tentang hilang seperti apa yang membuatku gila.
Atau, kata selamat pagi yang tak lagi berarti dalam jiwa.

Karena semakin dewasa, hidup menjadi begitu perih layaknya sayatan indah di pergelangan tanganku saat ini.

-R E C A K A-
.
.
.

-R E C A K A-

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

㋛︎


Senyumnya begitu indah. Mengalahkan pelangi di kaki langit yang masih malu-malu untuk menampakkan diri karena bening kristal itu masih setia berjatuhan, meleleh pada badan peraduan. Membuatnya basah, lantas disapu pelan oleh sang angin hingga semerbak aroma petrikor menguar ke mana-mana.

Tatapan Dafi masih terpaku di ujung jalan. Sedikit membuat hatinya bergetar. Di mana seorang ayah tengah memakaikan putrinya jas hujan kebesaran miliknya. Lalu sepasang manusia pun melintasi jarak pandangnya, di mana sang lelaki ribut melepas kemeja hingga menyisakan kaus tipis yang sudah basah terkena hujan hanya untuk melindungi kepala sang wanita. Dafi mendengkus geli. Musim hujan bisa menjadi seromantis ini tiba-tiba. Lalu pandangannya kembali berhenti pada sepasang suami istri dengan gerobak terparkir di jalan, tengah berteduh di emperan toko yang tutup sembari tersenyum menatap bocah laki-laki yang asik bermain air hujan.

Bibir itu kembali menyuguhkan garis tipis. Mereka terlihat bahagia. Dafi sempat merasa iri. Ternyata dunia masih menyelipkan hangat di antara mereka.

"Daf, kaki gue gatel!" bisik Alfa di sampingnya.

Mereka tengah berteduh di halte karena hujan yang tiba-tiba jatuh tanpa aba-aba.

Dafi menatap Alfa bertanya. "Terus? Lo nyuruh gue garukin kaki lo? Gitu?"

Alfa berdecak. "Bukan gitu, kampret!"

"Yaudah buka aja sepatunya."

"Terus gue nyeker?"

"Ya mau gimana lagi," kata Dafi terlihat tak peduli.

"Dih, apa kata orang yang liat nanti. Masa orang ganteng kayak gue jalannya nyeker? Malu!" Suara berat Alfa yang sedikit ngegas membuat beberapa orang yang tengah berteduh di halte meliriknya kesal. Alfa tak peduli, ia masih menatap Dafi.

Sementara yang ditatap hanya menghela napas pasrah. Otaknya mendadak memikirkan Janu yang kuat sekali berada di tengah-tengah Alfa dan Gata yang notabenenya berisik mengalahkan bocah umur 6 tahun. Padahal di sampingnya hanya ada Alfa, tapi kepalanya mendadak sudah pening.

"Terus lo maunya gimana?" tanya Dafi menatap sepatu Alfa yang basah karena menerobos kubangan di jalan barusan. "Lagian, lari gak liat-liat."

"Pulang dulu ke rumah gue," saut Alfa dan ikut menatap sepatunya ngeri. Wajahnya merengek kesal. "Lagian kenapa tuh kubangan ada di tengah jalan sih?"

RECAKAKde žijí příběhy. Začni objevovat