15 || Tenggelam Suram

197 51 41
                                    

㋛︎

Hidup,

bukan hanya tentang menunggu untuk mati.

Tapi tentang bagaimana cara tetap bisa bertahan di tengah banyaknya alasan untuk pergi.

-R E C A K A-
.
.
.

-R E C A K A-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

㋛︎

Anak mana yang tidak terluka hatinya kala banyak kata-kata menyakitkan keluar dari bibir orantuanya sendiri? Meski pun Gata paham sang Mamah tak pernah sengaja dan tidak memiliki tujuan buruk untuk segala hal tersebut. Tetap saja, semua hal itu menghantam keras ulu hatinya mengakibatkan sakit yang mencekut. Tapi lagi-lagi laki-laki itu diam, mungkin pasrah mencoba menerima. Karena pada akhirnya ketika Gata ingin mengobati rasa sakit yang mendera hatinya, ia bahkan tidak tahu di mana letak luka itu berada.

Sakitnya terasa, tapi lukanya tidak terlihat.

Segala pukulan tidak hanya menyakiti fisik Gata. Cemooh yang keluar lewat bibir manis Sandra berhasil mengacaukan seluruh isi pikiran Gata sampai rasanya ia kehilangan arah. Seperti tak ada yang bisa ia jadikan sebagai tempat bersandar.

Menghela napas, Gata menatap Ayahnya--Bekti-- yang masih sibuk menatap layar laptop di hadapannya. Jarinya terus bergerak lincah menekan keyboard menghasilkan bunyi ketikan. Sesekali netranya melirik pada banyak berkas-berkas bertumpuk di meja.

"Kamu mau ngomong apa? Cepetan Papah lagi sibuk, nih," ujar Bekti memecah hening. Pusat perhatiannya masih terpaku pada pekerjaan tak sedikit pun melirik Gata.

Gata memilih duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan kerja, tak jauh dari posisi meja kerja Bekti. Menatap Bekti lekat-lekat sebelum berkata, "apa gak sebaiknya Papah bawa Mamah ke Psikiater?"

Gerakan Bekti sempat terhenti beberapa sekon, lantas laki-laki berumur hampir kepala empat itu kembali melanjutkan pekerjaanya. "Buat apa? Mamah kamu udah pernah konsul sama Psikolog untuk ngatasin traumanya."

"Tapi--

Ucapan Gata terputus oleh Bekti. "Tugas kamu belajar! Ini urusan orang dewasa, Gata."

"Mamah butuh obat penenang. Dia butuh Psikiater, Pah," ucap Gata lagi.

"Kamu pikir Mamah kamu gila?" tanya Bekti dingin. Pria itu bahkan sudah menghentikan aktifitas sebelumnya dan beralih menatap Gata--anaknya-- dengan tatapan tak bersahabat. Perkataan Gata jelas mengganggu konsentrasinya untuk melanjutkan pekerjaan.

"Pah, bukan itu maksud Gata."

"Papah bilang ini urusan orang dewasa. Kamu masih anak-anak tugas kamu, ya, sekolah! Gak usah mikirin hal macem-macem. Urusan Mamah kamu Papah yang handle, kamu tenang aja," ucap Bekti tak mau dibantah. Ia alihkan atensinya pada layar laptop yang masih menyala. Tatapannya terlihat tak beraturan. "Yang terpenting kamu jangan buat Mamah kamu emosi terus. Tadi Papah denger Mamah marah lagi, kan?"

RECAKAWhere stories live. Discover now