Tiga (End)

20 3 0
                                    

Kepergiannya menyisakan rasa penasaran yang mendalam padaku, sementara orang lain di sekitarku tampak perlahan mulai melupakan dirinya. Memang benar kedatangan dan kepergiannya yang mendadak itu membuatku semakin ingin mencari tahu asal usul pria misterius ini. Sepanjang hidupku, belum pernah kulihat seseorang berbuat suatu kebaikan untuk yang lain tanpa alasan, terlebih dia menolak hadiah atau upah sedikit pun. Dia sendiri juga menolak makan, tanda betapa janggalnya dia sebagai manusia. Siapa dia? Apa yang dia inginkan?

"Samir!" panggil Bibi. "Tolong jagakan Samira selama aku pergi."

"Baik, Bi!" sahutku yang kemudian dibalas dengan bunyi pintu luar yang ditutup.

Aku melirik ke arah Samira yang sibuk bermain dengan anak-anakan yang dibeli beberapa minggu lalu. Kejadian tadi memang membuatnya takut, tapi dia dengan mudah melupakannya hanya dengan disuruh bermain. Namun, bayangan akan kejadian itu masih menghantuiku hingga di titik aku nyaris meminta Bibi agar kami bisa tidur sekamar. Benar kalau aku ketakutan, bahkan mengira itu akhir dari hidupku. Sebelum pria bernama Kaan ini memenggal kepala makhluk mengerikan tadi. Semua terjadi begitu saja dan dia pun juga pergi tepat ketika tugasnya selesai, sesuai dengan janji. Kini, apa yang dia lakukan sekarang?

Aku menghabiskan waktu memikirkan nasib pria aneh itu selagi menjaga adikku yang perlahan belajar bicara.

***

"Kita akan pindah!" Bibi berucap dengan semangat. "Aku berhasil menyewa kereta kecil untuk kita pergi ke desa seberang tempat saudaraku tinggal. Ayo, bantu aku susun barang-barang kita!"

Aku tentu ikut bersemangat. Siapa yang tidak mau meninggalkan tempat ini? Kami pasti akan hidup lebih baik. Dengan hati berbunga aku susun baju dan benda yang aku miliki menuju kereta kuda yang rupanya sudah menunggu di depan tanda betapa seriusnya ucapan Bibi saat ini dan betapa cepatnya kami ingin pergi dari sini.

Aku gendong Samira dan kami pun masuk ke kereta. Meninggalkan tempat kelahiranku yang tidak begitu nyaman. Tempat di mana orang tuaku dikubur, menyisakan sepenggal kenangan dalam kalbu.

***

Aku terlelap dalam perjalanan sementara Bibi berganti menjaga Samira yang juga terlelap. Sayup-sayup di tengah lelap dapat kudengar suara Bibi yang mengobrol dengan kusir.

"Kalian beruntung bisa pergi dari desa itu," ujar sang kusir. "Kami jarang membawa warga dari sana mengingat betapa menyedihkannya hidup di sana hingga makan pun susah."

"Aku bahagia ketika menyadari tabunganku selama ini telah mencukupi," sahut Bibi. "Bagaimana menurutmu tentang desa sebelah barat sana?"

"Tempat yang nyaman juga tenang," jawab kusir. "Kupikir cocok untuk ditinggali."

"Apa di sana pernah terdengar tentang iblis?" Pertanyaan Bibi membuat suasana menjadi hening untuk sesaat.

Akhirnya kusir menjawab meski terdengar ragu. "Iblis telah lama menghantui dunia, tidak hanya iblis, dari bangsa monster hingga binatang buas selalu menjadi ancaman."

"Kau benar," sahut Bibi seakan setuju. "Apa kamu pernah mendengar seseorang bernama Kaan?" Ternyata Bibi tertarik dengan dia, sama halnya denganku.

"Ah, pria yang kabarnya mengajari anak kembar itu berburu iblis." Ucapan si kusir membuatku kian penasaran.

"Siapa anak kembar itu?" tanyaku. "Pemburu iblis yang mana?"

"Anak kembar mendiang Tuan Marick, Yasfir dan Yasfira. Semua anggota keluarga mereka meninggal ketika mendapat serangan dari iblis terkuat yang pernah mereka hadapi."

Cerita sang kusir membuatku bergidik ngeri. Bahkan keluarga pemburu iblis saja tewas di tangan buruan mereka, apalagi kami yang hanya masih sebatas rakyat jelata.

Tales of Gods : Gods of Dunya [✓]Where stories live. Discover now