Tiga

40 12 1
                                    

Beberapa waktu berlalu, bisa dibilang cukup membuatku bosan menunggu, kedua anak itu masih tidak menunjukkan kabar. Padahal kamar mereka tidak dikunci, mereka yang memegang kendalinya. Mereka juga bisa keluar masuk bahkan keluyuran di istanaku. Tapi, tidak ada tanda selama ini melainkan keheningan.

Tepat ketika aku berniat melanjutkan tugasku, terdengar suara anak kecil dari kejauhan.

"Paman Kema?"

Kulihat Deimos mengintip dari balik pilar terjauh. Wajahnya masih memancarkan kepolosan dan keluguan.

"Ada apa?" tanyaku.

"Deimos boleh bertanya?"

Aku dapat membaca keinginannya. Maka, kuberi isyarat untuk mendekat.

Bocah itu berjalan lalu duduk di sisiku. Dia menatapku dengan mata kelabunya, tampak manis meski aku perlahan bingung mengapa dia menatapku begitu lama.

Rupanya, dia menunggu izin dariku. "Deimos, bicaralah."

"Paman Kema, kenapa engkau menciptakan kami?" tanyanya. "Apa hanya sebatas untuk hidup di bumi? Kenapa harus begitu?"

"Jawabanku sederhana, hanya demi menuntaskan rasa penasaran. Tapi, aku tidak mungkin meninggalkan tanggung jawabku yang lain demi ini. Sebagai sang Kematian, ada banyak tugasku. Maka, aku butuh utusan seperti kalian." Aku menatap Deimos, mengharapkan pengertiannya.

Deimos menatapku cukup lama, kemudian dia kembali bertanya. "Kami bakal hidup di sana berapa lama?"

"Selama yang kalian inginkan," jawabku. "Seperti sebelumnya, kalau tidak sanggup, pinta saja. Aku pasti akan menjemput kalian."

Bocah itu menunduk, tampak tenggelam dalam pikirannya sejenak. "Baik, Deimos bakap kasih tahu Zilla."

Aku biarkan dia menjauh. Langkahnya tergesa seakan dikejar sesuatu. Tidak butuh lama menunggu kedua makhluk kerdil itu kembali menghadapku dengan wajah polos mereka.

"Paman Kema," kata mereka.

"Kami siap," kata Zilla.

"Untuk kembali ke dunia sana," lanjut Deimos.

"Kalian yakin?" Tidak mungkin kubiarkan mereka ketakutan seperti dulu. "Kalian harus memikirkannya lagi."

"Kami siap!" tegas Zilla sambil mengangkat tangannya. "Antar kami kembali ke dunia."

Aku menatap mereka. Kedua anak ini jelas sudah mempertimbangkan keputusan mereka meski di sisi lain aku tidak begitu yakin jika keputusan mereka memang matang sudah.

"Baiklah." Aku mendekati kedua bocah itu kemudian berlutut agar mereka mudah menatapku. "Mau hidup seperti apa?"

Aku tahu waktu itu memilih pasangan secara acak. Meski nasib seseorang tiada yang tahu, tapi aku setidaknya bisa mengirim jiwa mereka pada orang tua yang sekiranya dapat menjaga mereka dengan baik saat masih kecil hingga waktu yang ditentukan.

Kedua anak itu kembali saling menatap. Mereka kemudian mengalihkan perhatian padaku.

"Terserah." Zilla tersenyum. "Paman bisa bawa jiwa kami ke mana saja."

Jawaban itu terdengar penuh rasa percaya. Maka aku mulai mencari beberapa manusia yang sekiranya memiliki nasib yang cocok bagi kedua anak itu.

"Baik." Aku kemudian berdiri. "Tunggu saja sampai besok."

Tales of Gods : Gods of Dunya [✓]Where stories live. Discover now