Dua

44 13 5
                                    

Pada kelahiran pertama, dilahirkan di sebuah rumah seserhana dengan keluarga kecil, hanya terdiri dari sepasang suami istri. Di kehidupan pertama ini, mereka akan terus diawasi, barangkali sesekali akan kuajak berdialog sejenak jika ada waktu.

Kini, aku sedang berdiri di depan pintu rumah mereka. Tangis bayi menggema, tanda kelahiran telah tiba.

Dari balik jendela, terlihat seorang wanita berambut pirang duduk di kasur sedang memeluk dua bayi yang diselimuti. Bersenandung lembut, membuatku teringat akan nyanyian jiwa-jiwa demi menenangkan diri saat kali pertama tiba di alam kubur.

Ya, lagu tidur. Lantunan nada yang diajarkan turun menurun, fungsinya sekadar menenangkan hati hingga membuai. Tanpa sadar, telingaku sepertinya turut menari kala mendengar suara nyanyian sang wanita.

Aku memejamkan mata. Membayangkan waktu berjalan begiru cepat. Dunia terasa berputar, segala jenis latar dan bentuk berbaur dalam satu putaran cepat hingga tidak terlihat. Perlahan melambat, hingga gambaran demi gambaran menjadi lebih kentara.

Di jendela yang sama, di musim salju yang sama. Aku berdiri di tengah salju. Mereka begitu lembut lagi dingin menusuk. Namun, aku tidak merasakan rasa sakit seperti yang biasa dirasakan jiwa-jiwa yang menjerit kala dingin menggerogoti raga. Terkekang dalam bongkahan es hingga napas terasa berat yang berakhir pada kematian.

Aku sang Kematian. Tugasku menjemput jiwa yang tersesat setelah ajal. Sebagian kasus karena terkubur dalam es, mati dengan perlahan dalam keadaan dingin.

Lamunanku buyar kala mendengar bunyi pintu ditutup. Ternyata, aku baru saja melewatkan adegan menarik. Kembali memutar ulang peristiwa itu, ternyata hanya kegiatan kecil sang ibu yang menimang kedua bayi kembarnya, kemudian dia keluar sementara anak-anak itu berbaring di tempat tidur masing-masing.

Aku dekati. Menembus langsung dinding kamar, masuk tanpa perlu mengetuk kayu atau kaca seperti yang mereka lakukan.

Mendekat.

Kedua bayi itu perlahan menatapku. Dengan rambut pirang disisir rapi serta manik biru langit ditambah senyuman polos.

Mereka memekik riang melihatku. Ah, ternyata mereka masih ingat kehidupan sebelumnya.

Jika Zilla dan Deimos ingat, lantas kenapa sebagian jiwa melupakan kehidupan lamanya setelah dilahirkan kembali? Bisa jadi semua karena kesalahan sihir. Tapi, bisa juga ingatan mereka terkikis oleh waktu.

Aku kembali memejamkan mata. Membayangkan waktu berjalan begitu cepat. Ketika dunia berputar bagai kilat, aku berhenti tepat di sebuah gambaran taman yang ramai.

Ada banyak manusia di sana, terutama anak kecil sebaya dengan Zilla dan Deimos saat kali pertama diciptakan. Bicara soal si Kembar, mereka tampak bermain kejar-kejaran dengan anak lain. Memekik riang persis seperti melihatku dulu.

Aku berdiri di balik pohon dan semak belukar. Menyaksikan permainan kecil mereka. Tanpa berpikir panjang, aku mengubah penampilan menyerupai semua manusia dewasa di sekitar.

Begitu berdiri, aku melangkah mendekat ke area taman tempat mereka bermain.

Zilla rupanya berlari ke arahku, menjerit girang. "Paman Kema!"

Duh! Kenapa dia langsung mengenaliku?

Deimos juga demikian. Dia menjerit girang seakan kesetanan. "Paman Kema!"

Keduanya berlari ke arahku.

Aku menatap sekitar, berharap tidak ada yang curiga. Untungnya, semua manusia tampak masih sibuk mengurus diri sendiri. Lantas, di mana orang tua kedua kelinci percobaanku?

Tales of Gods : Gods of Dunya [✓]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora