35 || Selamat Tinggal

Comincia dall'inizio
                                    

"Bangun! Sadar!" teriaknya.

Plak!

Tamparan terakhir saat di dalam mulutnya sudah dipenuhi oleh cairan merah. Napasnya sedikit memburu akibat amarah. Namun tak menghentikan netra itu mengeluarkan cairan bening hangat yang menjadikannya dingin. Ia menatap pergelangan tangannya sendiri yang diperban, kemudian menghilangkan perban itu secara kasar. Garis merah berukuran cukup besar begitu kentara saat perban itu dibuang. Janu tak habis pikir, apa Tuhan begitu membencinya bahkan kematiannya saja tak pernah diterima?

Orang lain patut takut dengan Janu. Bahkan dirinya sendiri pun takut. Karena penyakit yang ia derita, yang ia coba sembuhkan sendiri tanpa bantuan dari siapa pun, bahkan tanpa obat, membuatnya selalu kehilangan kewarasannya. Janu tak sadar saat dirinya berjalan ke arah atap, mungkin beberapa detik yang lalu jika ia tak kunjung sadar, Janu sudah mati di bawah sana. Ia bahkan tak bisa mengontrol tubuhnya sendiri untuk itu.

Sampai kapan Janu akan seperti ini? Sampai kapan penyakitnya kambuh dan membuat ia melakukan hal yang Janu tidak suka?

Penyakit sialan ini membuat Janu melukai banyak orang, bahkan melukai dirinya sendiri. Apakah mereka pikir Janu mau?

Janu bahkan tak ingat kenapa ia bisa kambuh.

Janu bahkan tak ingat bagaimana mulanya ia melukai teman-temannya atau mencoba bunuh diri. Tapi Janu tetap salah, karena mengikuti hasrat itu.

"Janu lo mau apa?  Mundur dari sana!"

Bersamaan dengan bulir dingin yang menemani pipinya yang basah. Janu memutar tubuhnya sampai sang angin di atas terasa ingin segera mendorongnya agar jatuh ke bawah. Laki-laki itu tersenyum masam saat menemukan Alfa di depannya.

"Diem di situ! Jangan deketin gue!"

Alfa menghentikan langkahnya. "Turun, Nu! Bahaya!"

"Lo yang ngapain di sini? Gue ini monster, Alfa! Jangan coba hentiin gue lagi," teriak Janu. Ia sadar, jika dirinya masih hidup mungkin rentetan kematian itu tak kunjung mereda.

"Terus lo nyuruh gue diem aja liat lo kayak gitu?"

Janu mendecih. Tak sangka respon Alfa yang masih kukuh menghentikannya. Padahal kalau dipikir, Alfa adalah tipe orang yang jika sudah benci, jangankan repot menemui, menatap mata Janu pun sepertinya ia tak sudi. Tapi ternyata yang Janu perkiraan salah total, Alfa masih berusaha menemuinya bahkan saat tahu kenyataan bahwa Yuna mati di tangan Janu.

"Pergi, Al! Pergi dari hidup gue! Harusnya lo dukung gue untuk mati! Gue pembunuh. Lo gak inget kalau gue yang ngebunuh Yuna? Apa lo masih anggap gue temen lo? Apa lo gak benci sama gue?" Lagi-lagi Janu berteriak. Berharap dari atas sini seluruh dunia mendengarnya.

"Gue benci sama lo!" ujar Alfa ikut meninggikan suaranya. "Gue benci dengan segala hal yang terjadi, Nu! Semua itu ngehancurin kita! Lo pikir gue masih berbaik hati sama lo karena gue gak marah?" Jeda sebentar, diisi helaan napas Alfa yang terdengar sarat akan kekecewaan. "Gue marah. Tapi apa itu bisa balikin Yuna gue?"

Bahu Janu bergetar. Bibirnya mengeluarkan frasa halus tanpa suara yang jika diartikan seperti maaf.

"Apa kalau lo mati, nyawa lo bisa gantiin nyawa adik gue? Apa semuanya bisa balik normal? Apa mereka semua yang mati bisa hidup lagi?" Alfa menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaannya sendiri. "Apa selama ini lo bohongin kita, hm? Apa selama ini lo pura-pura peduli sama kita?"

Tanpa bertanya Janu tahu siapa yang dimaksud Alfa dalam kata kita. Itu membuat perasaannya semakin sakit mengetahui bahwa Janu-lah yang menjadi jahat. Bahwa Janu benar-benar tidak pantas dianggap teman. Ia menggeleng pelan, tak lagi berusaha menahan tangisnya yang kian deras meski sembab sudah memberi jejak. "Gue gak pernah pura-pura peduli ke kalian. Gue udah anggap kalian keluarga gue, Al."

RECAKADove le storie prendono vita. Scoprilo ora