40. Melanjutkan Kisah

41.9K 3.2K 202
                                    

Halo, di part 40 yang sangat-sangat menguras kesabaran. Hihi. Terus, bacanya sambil siap-siap pisah ya. Ini ending. Betulan ending. 🤭

Please, enjoy.

●●●●●

Aku tidak terantuk benda keras apapun, tapi entah kenapa, aku seperti melupakan beberapa hal. Satu di antaranya adalah bagaimana aku bisa berakhir di kasur padahal ingatan terakhirku hanya sampai pada menangis tergugu dan memeluk lutut.

Tapi yang paling tidak bisa kuterima adalah bagaimana kejadiannya hingga aku bisa tidur bersama Tama dan Ganesh? Seolah itu belum terlalu menimbulkan tanda tanya besar, timbul lagi keheranan kenapa bisa, aku dalam posisi memeluk laki-laki ini? Apa aku sudah tidak waras? Apa menangis membuat otakku mendadak konslet? Sudah jelas Tama adalah mantan suamiku, kenapa juga badanku bisa selancang ini mendempet badan Tama? Kenapa tanganku bisa seerat itu melingkari badannya?

Aku mungkin memang sedang tidak sehat. Karena jika dalam keadaan normal, aku jelas tak akan mungkin melakukan ini. Biarpun belum bisa menjalankan lima waktu dengan rutin dan tepat waktu, tapi sedikit banyak aku paham konsep muhrim. Selain itu aku juga lahir dan berada dalam didikan budaya timur. Pantang untuk beetingkah sejauh ini dengan seseorang yang bukan hakku.

Jadi, mari menjauh Mira.

"Jangan dulu." Suara rendah itu hampir membuat jantungku berhenti berdetak. "Aku masih kangen kamu."

Bukan saja, jantungku yang bekerja berlebihan. Dua mataku juga hampir melompat keluar ketika Tama tiba-tiba memiringkan badan dan gantian mendekapku sedemikian erat. Puncak hidungku tepat berada di depan kancing kemeja yang dia kenakan. Telingaku entah menempel pada apa, jelasnya aku seperti mendengar satu detak-detak serupa jarum jam—runtut dan menenangkan.

Sejenak aku terpaku. Tanganku tak bisa bergerak, bibirku tak bisa berucap. Aku ingat ayah yang tak menyukai Tama. Tapi aku juga ingat Ganesh yang sangat merindukan sosok ini.

"Bukannya ini nggak bener?" kataku.

"Hm?"

"Mantan suami istri nggak ada yang peluk-pelukan di kasur kayak gini."

"Kenapa aku nggak pernah dapat panggilan lagi dari pengadilan? Kenapa juga aku nggak pernah dapat akta cerai atau sesuatu yang mengatakan kita benar-benar cerai?"

Keningku berkerut. "Ayah bilang, akan dia urus sendiri. Jadi kemungkinan besar, akta itu ada sama Ayah."

"Lalu kenapa ayahmu malah nyuruh aku jemput istri dan anakku ke sini? Istri yang mana yang dia maksud?"

Kepalaku mendadak saja terasa berputar dengan simpang siurnya informasi yang kudapat. Aku memberontak sedikit ngotot sekarang, tapi yang Tama lakukan juga sama keras kepalanya.

"Hon, bentar lagi."

"Sudah siang, Pak Tama. Bentar lagi cateringnya Ganesh datang."

"Ah, iya." Fokusnya sudah berpindah. Dia melepaskanku dan balik memeluk Ganesh. "Kenapa juga anaknya Papa nggak bangun-bangun? Siang nih, Boy."

Tidak jelas kenapa aku tiba-tiba mendesah kecewa. Tapi karena tahu sekarang benar-benar sudah siang, aku gegas bangun. Aku perlu mandi sebelum Ganesh ikut bangun dan menuntut jatah sarapannya. Dan tepat seperti apa yang kukhawatirkan, baru juga menggosok gigi, suara jeritan itu sudah menggema, membuat acara bersih-bersihku jadi tak lagi terasa tenang.

Kubasuh rambut dan segera menyampirkan handuk ke badan. Sambil setengah berlari aku keluar dari bilik basah itu. Hanya saja di kasur, aku tak lagi menemukan siapapun. Setelah kucari, rupanya Ganesh ada di teras, tenang dalam dekapan Papanya. Senyum begitu lebar, mata teramat berbinar tergambar di wajah Tama. Sebaliknya, Ganesh memandang laki-laki dewasa di hadapannya dengan pandangan penuh tanya. Inikah Papaku? Mungkin itu adalah makna tatapan mata bening milik si menggemaskan tersebut. Melihat itu untuk kali pertama, hatiku tidak bisa tidak terharu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 28, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

RUMPANGWhere stories live. Discover now