28. Penerimaan dan Penolakan

15.7K 2.1K 112
                                    

Halo semua. Maafkan diriku yang ngilang lama yaa. Insyaallah, setelah ini dibikin cepet aja. Apalagi kalau dikasih vote banyak2. 🤭🤭🤪

●●●●●

Satu missed call kudapati setelah aku selesai mandi. Karena tahu orang ini hanya menelepon untuk sesuatu yang memang penting, makanya segera kurespon. Bukan dengan panggilan yang sama, tapi via pesan saja. Sesungguhnya, aku tidak berada dalam kondisi yang menganggur. Satu jam lagi, aku harus sudah siap

Ada apa, Pak Tama? 

 
Papa Reihan
Sibuk? Lagi sama Ayah?

Sedikit. Saya di kamar. Aman. Kenapa? 

Papa Reihan
Reihan kangen. Angkat videonya ya.

Belum juga kusahut, nomor Tama sudah muncul lagi dengan maksud yang dia utarakan sebelumnya. Aku meletakkan ponsel itu di tubuh cermin, lalu mengangkatnya cepat. Dalam kecepatan sekedipan mata, wajah Reihan terlihat memenuhi layar.

"Mama!" Anak itu berteriak.

Aku geleng-geleng dan tersenyum geli. Dari gambar yang terekam aku tahu Reihan berada di ranjang kamar Tama. Yang memiliki ponsel belum terlihat, entah kemana.

"Kenapa anak ganteng? Masa udah kangen aja?"

Reihan mengangguk. "Biasanya lihat Mama tiduran di kasur ini kalau siang. Atau ngemil di sofa pasnya sore. Sekarang, nggak lihat Mama lama sekali."

"Lama apa? Tadi siang kan masih ketemu di sekolah."

"Tapi sore ke malamnya nggak ketemu. Sudah dua kali. Reihan kangen pengen lihat Mama kalau malam."

Senyumku berada di ambang terharu dan pilu. Tidak menyangka bahwa ada lagi satu hati yang merindukanku meski itu hanya dalam hitungan jam. Tapi bukankah itu juga bisa diartikan sebagai kabar seolah langit gelap karena mendung? Sebab, sebulan lagi, keadaan akan sangat berubah. Aku bukannya pergi dari rumah itu selama tiga hari, tapi selama-lamanya. Entah bagaimana kabar Reihan nanti. Aku belum berani membayangkannya sekarang.

Tak lama setelahnya, Tama bergabung di kasur. Sama-sama tengkurap di ranjang dan menumpukan dagu mereka di bantal, ayah dan anak beda darah namun tampak mirip itu terlihat lucu di mataku. Sedikit dari dagu mereka tenggelam, pipi mereka jadi tampak agak menggembung. Pemandangan seperti ini tidak pernah kubayangkan ada dalam ponselku sebelumnya.

Tama sendiri agaknya baru selesai mandi. Wajahnya bersih, rambutnya juga basah. Setelah ini, biasanya mereka akan langsung makan malam. Cuma, mungkin karena Reihan merengek soal aku, perut mereka perlu diajak bersabar barang sebentar.

"Mau pergi?" Tama bertanya.

Aku mengangguk dan meneruskan kegiatan merias wajah. Kurang dari empat puluh menit ke depan, ayah dan Kak Alben pasti sudah tak sabaran menungguku. Aku akan dijuluki jam karet, padahal mereka tidak tahu saja bahwa para gadis—termasuk aku—berusaha sedemikian kilat demi bisa berdandan cepat namun tetap menawan.

"Iya. Keira ulang tahun dan dibikinin pesta besar-besaran sama Mas Risjad. Yang diundang bukannya temen Keira, malah temen bisnis papa sama kakeknya. Heran," sahutku.

"Keira itu siapa?" Reihan ikut nimbrung.

Kuas yang menyapu tulang pipiku seketika terhenti. Sama-sama terkejut dengan pertanyaan normal namun serupa petasan milik Reihan, aku dan Tama saling pandang. Reihan mungkin paham dengan konsep anggota keluarga. Tapi dia hanya akan tahu siapa itu, ayah, ibu, kakak, adik, dan beberapa anggota dekat. Hanya saja, Reihan tak akan paham bagaimana itu seseorang bisa disebut calon anak tiri. Itu hanya akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan yang aku tahu, tak akan bisa menjawabnya.

RUMPANGWhere stories live. Discover now