23. Nyata Yang Terkuak

18.8K 2.5K 111
                                    

Halo dan terima kasih banyak untuk bintang dan komennya di part kemarin. Semoga masih bisa menikmati cerita ngezelin ini ya. 🤭🤭

●●●●
 

"Lama nih nggak nongkrong bareng. Yuk lah, guys." Satu ide muncul dari mulut Ria.

"Yuk. Ngopi-ngopi aja kita."

"Boleh tuh. Kebetulan perut juga lagi nggak beres belakangan ini." Menu yang kami sasar memang biasanya memiliki tingkat kepedasan yang lumayan. Jadi kalau lambung sedang tidak baik-baik saja, akan lebih baik untuk mencari sesuatu yang aman. "Mira ikut nggak?"

Hari jum'at adalah hari yang singkat, tidak banyak pekerjaan di sekolah, dan yang paling penting adalah besok bisa bersantai seharian—kecuali tugas mencuci baju Tuan Gautama Yosadana. Ajakan kawan-kawanku itu juga sangat-sangat membuatku tertarik. Aku merasa penat, dan butuh mengobrol dengan para gadis. Membicarakan keluaran lipstik terbaru atau malah bergosip soal guru lain. Cuma agak sulit belakangan ini mendapatkan moment semacam itu. Alasannya sudah jelas sebab tahu-tahu saja aku punya ekor, yang mana akan ikut kemanapun aku pergi.

"Skip!" pendekku sambil merapikan meja.

"Bawa saja si Reihan, Mir. Its oke kok kita. Ya nggak gengs?" Indah menengahi.

"Aku yang nggak oke. Kelihatan kayak ibu-ibu beneran akunya entar kalau si Reihan gelendotan mulu."

Rekan-rekanku tertawa, aku sendiri cuma pasang muka tak ambil pusing. Hidupku sudah cukup kompleks, pendapat orang-orang ini kalau ikut kupikirkan bisa cukup untuk mendidihkan otak. Jadi supaya tidak harus gila di usia muda, satu-satunya yang bisa kulakukan cuma membiarkan mereka tertawa atau berbicara di belakangku tanpa perlu kuurusi. Asal tak sampai terdengar, rasanya aku tak akan sakit hati. Terserah saja.

"Dah ya. Aku balik duluan."

"Dah Mama Reihan. Salam juga buat Papa Tama ya!"

Lambaian tangan acuh tak acuhku dibalas dengan tawa keras di belakang sana. Sambil mencangklong tas, aku melenggang dengan bebas di atas pantofel hitam. Lorong-lorong sudah pasti sepi, karena jam belajar telah selesai hampir setengah jam yang lalu. Halaman juga dalam kondisi lengang, menyisakan beberapa anak yang masih menunggu jemputan.

Di antara segelintir itu, ada Reihan yang kemudian berteriak heboh memanggilku. Di sampingnya ada Pak Radi, yang ikut tersenyum lembut yang sering kali membuatku ingat dan rindu pada ayah. Tak mau membuat mereka menunggu lebih lama, segera kuhampiri saja dengan cepat. Pak Radi langsung bersiap membukakan pintu untukku juga Reihan.

"Mau langsung pulang, Bu?"

"Sebenarnya pengen nyalon sebentar. Cuma... Reihan mau nggak pulang berdua sama Pak Radi? Kan harus jum'atan juga kan? Papa nanti marah loh, kalau Reihan mangkir lagi." Aku berusaha membujuk demi quality time yang harusnya bisa kudapatkan dengan mudah. Tapi alih-alih sekarang seperti bermaksud mendapatkan jarum dalam tumpukan jerami.

Mobil sudah berada di jalanan yang ramai. Roda kendaraan itu mengarah ke rumah, namun dalam kecepatan tak seberapa cepat. Agaknya Pak Radi memberiku waktu untuk sekadar diskusi dengan tuan mudanya.

"Nyalon itu yang bagaimana, Ma?"

"Nyalon itu kayak, yang ngerapiin rambut, perawatan kulit, atau perawatan kuku."

"Rei mau ikut. Rambutnya Rei boleh deh dipotong lagi."

Aku dengan tegas menolak. "Salon cowok sama salon cewek beda, Rei. Yang pengen Ibu datangi isinya cewek-cewek semua. Nggak ada cowoknya. Jadi, mending kamu pulang sama Pak Radi ya."

RUMPANGWhere stories live. Discover now