18. Cerita Soal Kain

17.7K 2.6K 257
                                    

●●●●●

Ketika meninggalkan rumah dan pindah sementara ke rumah Tama, aku hanya membawa satu kopor tak seberapa besar. Itu kukemas dengan tanganku sendiri dan kusesuaikan dengan kebutuhan terpenting—maksudku adalah seragam mengajar. Tapi rupa-rupanya aku salah perhitungan. Pakaian rumahanku habis lebih dulu, sedangkan yang telanjur kotor belum kering dari penjemuran. 

Di lemari Tama sebenarnya ada bertumpuk-tumpuk pakaianku. Harusnya bisa kupakai andai saja badanku tak bertambah gendut. Tapi kupikir lagi, dari nyaris seratus lembar kain itu masa tidak ada satu pun yang muat di badan? Karena pertanyaan itu, maka satu jam lebih kuhabiskan waktu di depan lemari dan cermin untuk menjajal satu per satu kain. Hasilnya adalah, kekecilan, terlalu ketat, atau mungkin malah mengundang syahwat. Jadi, daripada aku disebut penggoda oleh Tama, lebih baik aku mencari alternatif lain saja. 

Maka aku sungguh tak punya pilihan selain menarik satu kaos dari tumpukan pakaian milik Tama dan memakainya tanpa pikir panjang. Kain yang terasa dingin itu jelas kebesaran di badanku. Jatuh melewati hotpants yang kukenakan dan menutupi setengah dari paha. Sekarang dadaku terlihat datar dengan kaos oversize ini. Aku tersenyum pada cermin dan merasa telah melakukan hal yang benar.

Sekarang tersisa membereskan kekacauan dalam wujud bertumpuk-tumpuk baju lamaku yang berhamburan di atas sofa dan lantai. Hanya saja, aku seorang Almira yang tidak akan mau bersusah-susah. Jadi, kuputuskan untuk meminta bantuan Tati saja.

Belum juga bertemu Tati, aku malah berpapasan dengan Reihan yang mengangkut segelas susu di tangannya. Bocah itu menatapku dengan heran. "Kok Mama pakai kaos Papa?" tanyanya.

"Ibu kehabisan baju. Jadi ya minjem kaosnya  papamu. Kamu lihat Mbak Tati, Rei?"

"Minjem ya? Mama sudah izin?" Anak kecil pun bisa menyudutkanku.

Sontak alisku bertaut. Aku merasa gemas diinterogasi semacam itu oleh anak-anak. Lagian, kenapa dia bisa hapal sekali dengan pakaian papanya? Apa kaos ini sering dipakai oleh Tama?

"Itu... nanti deh. Ibu izin ke papamu kalau dia sudah pulang."

"Tapi, nggak perlu deh kayaknya, Ma. Toh Papa nggak suka kaos itu."

"Ha?"

"Kaos itu Bunda yang beliin. Couple buat Rei sama Papa. Tapi Papa nggak pernah mau pakai. Jadi, Mama pakai saja. Rei tahu, Papa nggak akan marah."

Mataku tak mungkin salah bahwa baru saja aku menemukan kekecewaan besar telah mengerubuti mata si kecil Reihan. Anak itu berlalu melewatiku. Bibirnya masam, wajahnya tertekuk. Sedetik, aku merasa sesuatu berdiam di tenggorokanku. Bersekon-sekon, aku hanya bisa mematung dan tak tahu harus melakukan apa.

Aku meremas pelan kaos yang melekat di tubuhku sambil mengingat-ingat di mana aku menarik kaos ini dari lemari. Itu adalah tumpukan paling bawah di mana biasanya memang jarang dipakai. Kupikir memang jarang saja. Aku tak pernah mengira bahwa kaos ini baru. Pantaslah aromanya berbeda.

"Mama nyari Mbak Tati, kan?"

Berjengit, aku menoleh dan mengangguk. Reihan duduk melantai. Dagunya tersandar di meja, jari kecilnya menggambar pola abstrak di atas lembaran kayu halus itu. Entah bagaimana, Reihan kelihatan nelangsa sekali.

"Mbak Tati pergi ke warung, beli sesuatu. Duduk sini aja, Ma. Nanti juga pulang."

Pelan-pelan aku mengembuskan napas. Aku harus tenang dan berhenti menyalahkan diri sendiri. Sama sekali, aku tidak bermaksud mengingatkan anak ini pada kekecewaan yang pernah dia sandang. Kudekati anak itu dan duduk melantai tepat di sampingnya. Kata orang, berbicara pelan lebih efektif untuk membujuk seseorang yang sedang sedih atau merajuk.

RUMPANGWhere stories live. Discover now