Tentang Ayahnya yang memukulnya, tentang Ayahnya yang membawa wanita lain.

     "Re, kamu lamunin apa, Nak?" tanya Nara dengan menyangkat dagu Regi. Setelahnya, ekspresi Nara dan Fahmi pun berubah saat melihat wajah asli Regi yang tertutup topi hitam.

     "Wajah kamu kenapa, Re? Kenapa lebam semua gini?" Nara menggerakkan wajah Regi ke kanan-kiri. "Kamu berantem? Kamu di pukul? Kamu ken—

     Regi menahan tangan Nara, lalu di genggamnya erat. "Bunda, Re gak apa-apa. Tadi hanya ada masalah kecil."

     "Kamu yakin gak nyembunyiin sesuatu dari kita?" tanya Fahmi penuh selidik.

     "Kalian gak udah khawatir, Re baik, kok."

     "Tapi say—

     "Re naik dulu, ya? Re ngantuk, mau istirahat. Malam," ujar Regi yang seketika memotong perkataan Nara.

     Kedua kaki Regi pun melangkah pergi meninggalkan Nara, Fahmi dan Bima di sana—naik ke lantai atas menuju kamarnya. Ya, Regi memiliki kamar sendiri di rumah itu.

     Selepas itu, tak ada yang bisa mereka lakukan selain membiarkan Regi untuk mengistirahatkan tubuhnya.

     Fahmi melirik penuh tanya pada Bima yang dengan santainya masih mengunyah apel. "Kamu tahu semuanya, kan, Bima?"

     Bima menggedikan bahu. "Papa tanya aja sama dia—Adik Papa."

•••

     Kamar dengan nuansa putih itu tampak redup dan sunyi. Regi, sang pemilik lekas melepas topi hitam yang sedari menutupi kepalanya—menjatuhkan tubuhnya di atas kasur—menatap langit-langit kamar di iringi helaan napas panjang.

     Setelahnya, kedua kelopak matanya tertutup. Sekelebat kejadian tak terduga kembali melintas.

     "Sejak kapan saya mengakui dirimu sebagai Anak?"

     "Jangan melunjak dengan saya! Lagi pula saya berhak mencintai siapapun selain Ibu kamu!"

     Kelopak mata itu kembali terbuka, dengan arah pandang yang masih tertuju pada langit-langit kamar. Regi terdiam, hatinya kembali terasa sakit melihat keadaan yang kini sudah benar-benar berbeda.

     Tangan yang tadinya hanya terkulai tak berdaya di sisi kanan-kiri tubuhnya mulai terangkat—menangkup wajahnya.

     Regi pun tampak menarik napas dalam, lalu di hembuskannya perlahan sembari bergumam, "Hah, kapan semua ini berakhir. Kenapa keadaan makin lama makin sulit di kendalikan."

     "Sshh, akh." tiba-tiba Regi merintih, sehingga membuat tangan yang sedari tadi menutupi wajahnya beralih pada perutnya—mencengkeramnya erat. "Perut gua sakit banget akhir-akhir ini, sial."

     Regi memilih memiringkan tubuhnya, lalu meringkuk seorang diri. Ia hanya ingin tidur saat ini, ia hanya ingin beristirahat. Setidaknya hanya malam ini saja, ia harap bisa tidur nyenyak.

     "Kali ini aja, biarin gua tidur nyenyak," cicitnya sesekali merintih merasakan sakit di perutnya.

•••

Another Pain [END] ✔जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें