Kalimat Sheryl yang paling Naura ingat, yang menjadi inti masalahnya. Setelah Allredo protes pada Sheryl karena Bellissa terus menolaknya. Merasa ragu atas janji—yang semula Sheryl tawarkan untuk membantunya. Lalu Sheryl menyakinkan kalau dia bisa, dengan syarat Allredo juga harus menepati janjinya.

Sheryl percaya diri bisa menyakinkan—bisa dibaca memaksa—Bellissa menerima Allredo. Karena selama ini Bellissa selalu tunduk pada ucapannya.

Hm. Pastikan aja dia jadi cewek gue secepatnya.”

★★★

“Baru pulang, Sa?”

Bellissa mengangguk merespon pertanyaan Om Satya, Papa tirinya. “Iya, Pa,” sahutnya, sembari tersenyum kecil.

“Makan dulu, baru mandi, abis itu istirahat.”

“Aku masih keny—” lirikan serta pelototan Mama yang sedang menyiuk nasi ke piring Om Satya, membuat Bellissa menghela napas berat lalu kembali mengangguk. Terpaksa duduk di kursi meja makan yang biasa ditempatinya, di samping Sheryl.

“Kebiasaan, sekarang kamu sering pulang telat terus,” tegur Mama, sembari mengisi piring Bellissa dengan nasi.

“Aku kan udah kabarin Mama, kalo aku main dulu sama Zarra,”

“Nggak apa-apa kali, Ma, seusia mereka inikan lagi seneng-senengnya ngabisin waktu bareng temen.” bela Om Satya.

“Ya tapi nggak gitu juga dong, Pa. Sheryl pulang tepat waktu, Bellissa malah keluyuran dulu. Bikin orang tua khawatir aja,” sahut Mama.

“Bellissa juga udah syukur punya sodara sama temen yang baik kayak Sheryl. Tapi malah main sama temennya yang lain.”

Bellissa tidak membela diri, membiarkan Mama terus mengomeli. Bellissa hanya ingin segera menghabiskan makanan di piringnya lalu pergi ke kamar. Mengurung diri dan mungkin ... menangis lagi.

“Capek banget Mama nasehatin kamu. Harus berapa kali sih, Sa, Mama bilang buat ... liat Sheryl, contoh dia.”

Mama semakin menjadi. Kembali membanding-bandingkannya dengan Sheryl—yang diam-diam menyeringai disamping Bellissa. Merasa puas, senang dan menang meski tidak melakukan apa-apa.

Bellissa merasa bersyukur bisa menghabiskan makanannya diantara ketidaknafsuan dan ketidaknyamanan. Kemudian segera bangkit dan pamit meninggalkan meja makan.

Namun, keadaan tidak memihak Bellissa. Tidak membiarkan Bellissa langsung istirahat begitu saja.

Saat Bellissa menutup pintu kamar, pintu itu terdorong kembali dari arah luar. Terbuka lebar karena ada seseorang yang melakukannya.

Sheryl. Berdiri pongah. Melipat tangan di dada.

“Lo bikin emosi gue naik banget akhir-akhir ini. Kenapa sih, susah banget di atur?”

Bellissa masih diam, dengan tampang datar.

“Lo nolak Redo lagi, dua kali! Tolol banget tahu, nggak?!”

“Gue atau lo yang tolol?” tanya Bellissa.

“Lo—” Sheryl melangkah maju dan melotot tidak terima.

“Iya, kenapa?” tantang Bellissa.

Bellissa sedang kesal sekarang. Perasaannya berantakan. Menerima ajakan ribut Sheryl sepertinya bisa dijadikan pelampiasan.

“Lo ke sini mau nyuruh gue buat nerima Redo, kan?”

“Iya! Apa susahnya nerima dia, sih?”

“Nggak. Nggak susah,” jawab Bellissa. “Gue cuma nggak suka sama Redo dan gue udah tahu alasan dia deketin gue, juga ... alasan lo yang terus maksa gue buat nerima dia.”

PRICELESSWhere stories live. Discover now