[46] Book of Menu (4)

908 138 8
                                    

Tiupan halus dari sela-sela bibir Angga terhenti sesaat, memastikan retina mata sayu di hadapannya dapat kembali mengedip secara normal lagi. Dan benar saja, bola mata besar dengan bulu mata yang lentik di kelopak itu, kini sedang balas menatap lebih dalam retina milik Angga. Adegan tatapan dalam hening kembali terulang. Namun kali ini lebih dekat. Hanya berjarak setengah jengkal lengan.

Di sisi lain, Tasha hanya dapat menahan nafasnya merasakan degupan di balik dadanya yang seakan menghantam lebih kencang. Aliran udara dingin seolah menghentikan seluruh denyutan dalam tubuhnya, kecuali hanya menyisakan denyutan di jantungnya itu. Apalagi ketika tanpa bisa ia berpaling dari retina mata almond di hadapannya yang kini seakan semakin mendekati wajahnya. Dan dirasakan sentuhan jemari halus yang awalnya berada di pipinya, entah sejak kapan beralih mendekati kedua bibirnya. Dirasakan sentuhan halus itu mengelus bagian bawah bibir miliknya yang menggantung tanpa kata.

Berada dalam kesadaran yang setengah-setengah, Angga tak bisa mengendalikan dirinya untuk menahan jari-jari miliknya yang seolah ingin lebih jauh merasakan kulit halus di wajah wanita itu. Jemari itu mulai segaris demi segaris mengukur setiap inci wajah cantik di hadapannya kini. Wajah jelita itu bagai pahatan patung, hanya terdiam beku menatap tanpa kedip wajah milik Angga. Membuat lelaki itu ingin menghirup aroma nafas di balik bibir ranum yang kini hanya tergantung. Masih dengan kesadaran yang setengah-setengah Angga perlahan mendekatkan hidung mancungnya menuju hidung mungil di hadapannya kini. Seiring dengan matanya yang sedikit demi sedikit mulai terpejam.

Dan entah tali apa yang mengerangkeng tubuh Tasha, merasakan deru nafas halus yang sepersekian detik semakin mendekati indera penciumannya, ia lagi-lagi tak bisa berkutik. Seolah menunggu hembusan nafas itu mendarat di indera miliknya. Dan benar saja, dalam jarak satu hembusan nafas lagi, kedua bibir itu saling menyentuh. Namun suara hentakan halus seperti langkah kaki di ruangan itu, mengembalikan Tasha dan Angga pada kesadarannya.

Tak ingin melihat lebih jauh adegan hening di hadapannya, Aida, nama panggilan sang ibu, mengambil langkah dengan sengaja menghentakkan kakinya. Menyadarkan dengan halus kedua insan muda itu untuk tak berlaku lebih jauh dari yang ia lihat saat ini. 

Wanita tua itu tentunya tahu, adegan saling tatap dalam hening tadi akan berakhir seperti apa. Saat ini di hadapannya, kedua insan muda itu tampak terkejut melihat kehadiran sang ibu yang entah sejak kapan ada di sana. Serta merta keduanya saling menjauh, memberikan jarak pada diri masing-masing yang sebelumnya terlalu dekat.

"Eh, Mah!"

Angga gelagapan, tak tahu harus berkata apa. Seruan singkat tadi caranya untuk menenangkan diri pada kondisi di luar kendali tadi.

Sementara dilihatnya Tasha masih belum sepenuhnya sadar pada kondisi mereka. Masih mencerna keadaan di sekitarnya. Merasakan debaran kencang di balik tubuhnya yang tak henti bertalu. Beberapa detik kemudian debaran itu mulai melemah, bersamaan dengan ia  melihat tatapan nanar di mata wanita tua itu.

"Mamah kira lagi gak ada tamu," ujar sang ibu beberapa detik kemudian dengan senyuman simpul yang dipaksakan, mencoba untuk bersikap biasa saja.

Sang ibu berusaha untuk menutupi perasaan campur aduk dalam dadanya kini. Dirasakan wajahnya memanas beberapa detik tadi. Namun ia tak ingin bereaksi berlebihan. Tak ingin membentak atau mengomeli kedua sejoli yang tadi hampir berlaku diluar batas wajar. Apalagi keduanya sudah sama-sama berusia matang. Bukan anak remaja dibawah umur yang harus dimarahi karena kepergok sedang berciuman. Ya, mereka sudah dewasa.

"Ah, kebetulan kami memang bertetangga, Bu. Saya tinggal di unit sebrang," sahut Tasha setelah pada akhirnya mulai kembali pada ketenangannya.

"Ah, iya. Dan kadang kami makan malam bareng," tambah Angga masih dengan sikap kikuk.

30 Days DinnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang