[30] Main Course (4)

978 130 1
                                    

Masih dengan sisa-sisa penyesalan dan bertahan dengan kesabarannya, Tasha menatap hening tumpukan cucian alat-alat makan di meja dapur unit serba putih itu. Beralih menatap meja makan yang berserakan sampah-sampah sisa makanan cepat saji, membuatnya tak bertenaga lagi untuk sekedar mengomel pada sosok tinggi tegap yang kini hanya terduduk santai di sofa ruang tengah miliknya, menonton acara di layar kaca.

"Angga, apa kamu pikir aku bisa memasak dalam kondisi dapur yang seperti ini?" ujar Tasha setelah mendesah panjang.

"Kalau kamu gak nyaman dengan kondisi itu ya tinggal bereskan," tanggap Angga acuh tak acuh, tatapannya masih fokus pada saluran televisi kabel favoritnya.

"Tugasku hanya memasak, bukan beres-beres," protes Tasha, lagi-lagi disambut komentar menyebalkan oleh lelaki itu.

"Yasudah, terima apa adanya."

Akhirnya Tasha memilih untuk mengalah, ia tahu tak akan menang berkata-kata dengan Angga. Sejak dulu selalu seperti itu, pikirnya. Daripada energinya dihabiskan untuk berdebat, lebih baik ia mulai mencuci semua alat makan yang bertumpuk itu. Lalu setelahnya beralih membereskan meja makan dan membungkus sampah-sampah ke dalam plastik. 

Angga yang daritadi bersantai di sofa, diam-diam menahan tawanya memperhatikan apa yang dilakukan wanita itu di unitnya. Tentunya Angga bisa menebak, Tasha yang pecinta kebersihan itu, tak akan tahan dengan kondisi dapur miliknya. 

"Bukannya udah biasa ya, kamu dulu juga sering beres-beres kamar kosanku," komentar jahilnya lagi.

Tasha yang sedang fokus memisahkan sampah-sampah dan membungkusnya ke dalam plastik, menghentikan kegiatannya. Ia menatap belakang punggung bidang Angga yang tengah terduduk di sofa.

"Sebegitu rindukah kamu pada masa lalu? Sudah kubilang jangan membahas hal-hal diluar urusan kita." 

Tanpa ingin mendengar tanggapan Angga, Tasha kembali dengan kegiatannya membereskan sampah-sampah. Sementara Angga hanya tersenyum simpul, ia memang merindukan masa lalu itu.

Sampai 30 menit kemudian, tak ada obrolan-obrolan lagi di unit apartemen itu. Angga fokus dengan tontonanya dan Tasha fokus dengan kegiatan memotong dan memasaknya. Sampai sebuah panggilan nyaring dari ponsel Tasha, membuyarkan kegiatan memasak itu. Ia bergeming, mengambil ponselnya yang tergeletak di meja ruang tengah, dekat sofa. Mengecek panggilan tersebut. 

Angga yang masih terduduk santai di sofa ruang tengah itu, menatap sekilas wajah Tasha yang tersenyum simpul mendapati panggilan seseorang di telepon genggam itu.

'Ya, Wir. Aku lagi masak,' sapanya, sambil berlalu dari hadapan Angga, kembali menuju dapur.

'Bukannya ini terlalu cepat untuk kamu masak? Biasanya selesai Maghrib kan.'

Tasha terdiam sesaat, tak mungkin ia bercerita tentang perjanjian memuakkan dengan Angga. 

'Ah, aku lagi ingin masak banyak. Jadi lebih cepat. Kamu lagi makan apa?'

Perbedaan waktu dua jam, di negeri sakura saat ini sudah masuk waktu makan malam. Seperti kebiasaan keduanya yang memang sering menghabiskan waktu makan malam bersama, saat berjauhan seperti sekarang, mereka biasanya mengobrol melalui sambungan jarak jauh.

'Mie seduh, malam ini aku lembur di lab. Ada sedikit masalah dengan instalasi panelnya.'

'Oh, apa perlu bantuanku?' 

Dengan singkat Wira menjelaskan permasalahan teknis yang tengah dihadapinya.

'Nanti kukabari lagi. Yasudah lanjutkan masakmu. Aku akan kembali ke lab,' tutup Wira.

Setelah panggilan itu diakhiri, Tasha kembali dengan kegiatan memasaknya. Sementara diam-diam daritadi Angga mengecilkan suara layar kaca di hadapannya, dan menyimak dengan seksama perbicangan di dapur itu. Sedikit penasaran dengan seseorang di seberang sana yang sepertinya cukup dekat dengan Tasha.  Sampai akhirnya Angga mengingat sesuatu. Dengan tanpa kata, ia beranjak dari sofa dan melangkahkan kaki menuju ke kamarnya yang berpintu warna cokelat.

30 Days DinnerWhere stories live. Discover now