[3] Miso Soup in The Sad Brown Eyes

2.1K 270 3
                                    

Angga terkesima melihat hamparan lempengan kaca berwarna hitam kebiruan, mengapung di atas perairan di hadapannya. Sekejap ia membayangkan jika teknologi semacam ini harusnya bisa lebih berjaya di negerinya. Mengingat komponen utama energi adalah sinar matahari yang tentunya sebagai negara tropis, Indonesia unggul dalam hal sumber daya ini. 

"Tempat ini menjadi solar power plant baru yang perusahaan kami kembangkan," jelas seorang lelaki berkebangsaan Jepang.

"Tapi dimusim dingin seperti ini, apakah panel-panel ini dapat menyerap energi secara maksimal?" tanya Angga, tanpa sengaja ia melihat gumpalan salju di beberapa bagian hamparan itu.

"Tentu saja, selama ada sinar matahari. Bahkan panel surya ini bekerja lebih efisien saat cuaca dingin."

Si lelaki Jepang itu kemudian menjelaskan lebih rinci: Panel surya memiliki suhu puncak, yang mana ketika panel sudah mencapai suhu puncak tersebut, justru efisiensinya untuk menghasilkan listrik berkurang. Di musim dingin, kecil kemungkinan panel surya mencapai suhu puncaknya. Sehingga lebih mungkin untuk dapat menyerap energi tanpa melewati suhu puncak. Namun, tentu saja selama musim dingin, sinar matahari lebih pendek daripada musim-musim lain.

"Jadi walaupun secara efisiensi lebih baik, bukan berarti lebih banyak menghasilkan energi. Tapi energi yang dihasilkan selama musim dingin tidak berbeda secara drastis dari yang dihasilkan di musim panas," jelas lelaki itu lagi, membuat Angga mengangguk-angguk paham.

Sementara Deva yang tidak bisa berbahasa Jepang hanya bisa menatap obrolan itu dengan rasa penasaran. Ia kemudian berkata pada atasannya, " Pak, nanti terjemahkan untuk saya, ya,"

Angga mengernyit mendengar permintaan itu, "Hei yang jadi bos di sini itu siapa? Kenapa aku yang jadi penerjemah?"

Deva tak menghiraukan komentar atasannya itu. Walaupun Angga sering menyindirnya, tapi ia tahu pada akhirnya si atasan akan menjelaskannya lagi pada Deva. 

"Jam berapa penerbangan Anda ke Osaka?" tanya salah satu staf perusahaan Nippon Raito, seorang wanita.

Angga menerjemahkan pertanyaan itu pada Deva, tentunya Deva lebih tahu jadwal kegiatan mereka. Kemudian Angga menerjemahkannya lagi pada staf tersebut.

"Jam 3 sore ini. Setelah makan siang kami akan kembali ke hotel mengambil koper yang dititipkan," jawab Angga.

"Baiklah, mari kita kembali ke gedung pabrik untuk melihat inovasi terbaru kami," ajak staf itu lagi, disambut anggukan semangat oleh Angga.

Rombongan itu kemudian beriringan melangkah menuju tepat parkir mobil tak jauh dari itu.

"Apa katanya tadi, Pak?"

Angga lagi-lagi mengernyitkan kening ,"Kamu tahu, Dev. Aku baru sadar dalam satu hal untuk urusan saat ini."

"Apa, Pak?," tanya Deva penasaran. Sepertinya ini urusan serius, pikirnya.

"Tenyata aku gak butuh seorang sekretaris," jawabnya lagi dengan tawa ditahan, membuat Deva menyesal sudah penasaran.

Sepanjang perjalanan di dalam mobil menuju pabrik, Angga menjelaskan obrolan-obrolan tadi pada Deva, yang tentunya dengan cermat Deva mencatat poin-poin penting di tablet layar sentuh yang menjadi andalannya. Hanya perlu waktu empat puluh lima menit dari ladang pembangkit tenaga surya tadi, mobil yang ditumpangi Angga berhenti di depan bangunan tiga lantai yang di sebelah bangunan itu terdapat bangunan satu lantai dengan bentang lebar dan besar.

"Ini kantor gedung kantor kami dan bangunan itu adalah pabrik. Mari kita langsung ke pabrik saja," ajak staf wanita itu lagi.

Pertama kali memasuki bangunan lebar dan luas itu, tatapan mata Angga disambut oleh berbagai ukuran lempengan panel surya yang tadi ia lihat di ladangnya. Mulai dari ukuran standar yang biasa dapat diperoleh dengan mudah di pasaran sampai ukuran kecil.

30 Days DinnerWhere stories live. Discover now