33 || Rela Untuk Menerima

Start from the beginning
                                    

"Ngantri dong, Al! Gue duluan!" saut salah satu siswa yang berkerumun di situ.

Alfa mendelik sinis. "Ini gue ngantri."

"Tapi lo nyalip gue."

"Gak berubah jadi murtad, kan, lo?" tanya Alfa.

"Belom, sih. Gak tau kalo abis makan batagor."

"Al, gue turut berduka, ya!" kata Siswa satunya di belakang yang Alfa kenal bernama Farhan. Tiba-tiba menyahut, menatap Alfa kasihan lantas kembali mengalihkan atensinya pada Mang Adi.

Alfa mengangguk sebagai jawaban. Fokusnya ikut kembali pada Mang Adi yang tengah sibuk menyiapkan batagor. Banyak yang mengajaknya berbicara, entah itu menyapa, menyampaikan bela sungkawa, atau sekedar bertanya bagaimana perasaannya saat ini. Tapi dari semua pertanyaan yang mereka lontarkan untuk Alfa. Laki-laki itu hanya mengangguk pelan atau tersenyum kecil sebagai jawaban. Bahkan untuk membalas perkataan orang-orang itu bibirnya begitu berat.

Satu persatu kerumunan mulai terkikis, menyisakan beberapa murid dan Alfa yang senantiasa berdiri dengan tegap tanpa mengucap sepatah kata lagi. Benar kata Gata, dirinya payah dalam hal menyerobot antrian batagor. Lantas laki-laki itu menghela napas. Mendadak merindukan Gata yang selalu menjadi dewa batagor baginya. Atau Janu yang rela mengantri untuk Alfa.

"Mang! Itu buat saya dulu! Saya udah ngantri dari tadi."

Alfa tak habis pikir. Bagaimana hari begitu cepat berlalu, padahal bulan lalu ia masih bisa tersenyum girang. Masih bisa berjalan beriringan dengan mereka semua. Tapi nyatanya sekarang Alfa sendiri. Untuk mengulang moment itu pun sepertinya agak mustahil. Benar kata Bundanya, hidup itu selalu berjalan tanpa izin dari kita. Jika ada yang datang, maka harus ada yang pergi. Entah itu Gata atau Janu, mereka pernah datang di hidup Alfa. Seharusnya Alfa tak terkejut jika mereka bisa pergi.

"Nih! Batagor lo!"

Sodoran batagor tepat beberapa senti dari hidungnya membuat mata laki-laki itu membulat. Terkejut. Dan netranya menemukan netra lain yang berwarna coklat kopi, sedikit lebih cerah dari miliknya. Gadis yang Alfa ketahui bernama Rosi itu menggoyangkan tangannya yang membawa batagor berbungkus plastik.

"Apaan?" tanya Alfa kebingungan. Ia baru bangun dari lamunan.

Rosi menghela napas gusar, lantas memutar bola matanya. Menarik tangan Alfa agar menjabat batagor yang ia genggam. "Ngantri tuh yang istikomah, jangan malah pasrah! Miris banget dari tadi malah gak kebagian batagor. Keburu abis nanti."

"Oh." Alfa ber-oh pendek. Menatap batagornya meski masih sedikit bingung karena habis tersadar dari alam bawah sadarnya. "Oke. Makasih," katanya sembari hendak meninggalkan tempat antrinya. Karena jujur Alfa sudah muak berada di situ, dan hatinya sedikit bersorak saat ada orang baik yang tiba-tiba mau membantu untuk mendapatkan batagornya.

"Eh lo, anjir!" ucap Rosi sembari menarik kerah Alfa hingga laki-laki itu kembali mundur ke belakang dengan tubuh sedikit terhuyung. "Ganteng-ganteng, bego!"

Alfa melirik sinis. Sudah dipastikan laki-laki itu kesal dengan perilaku Rosi yang sok kenal. Ia merapikan kerahnya kembali saat tangan gadis itu sudah menghilang dari lehernya. "Apa lagi? Bukannya gue udah bilang makasih?"

"Lo belum bayar!"

Satu kalimat singkat yang membuat Alfa ingin memiliki kekuatan untuk membuat dirinya menjadi transparan seketika.

Bego!

-𖧷-


"Lo suka dimainin secara lembut atau kasar?" tanya Noval diikuti senyuman miring. Menatap Dafi yang hanya balas menatap si gempal tanpa rasa takut.

RECAKAWhere stories live. Discover now