04. Kehidupan Kapisa

669 166 27
                                    

Kapisa tertegun di depan pintu rumahnya. Barang-barang yang berserakan, kursi yang terbalik, Kapisa tidak tahu harus menjabarkan seperti apa melihat rumahnya yang sudah kacau balau.

Ijas dan Amber adiknya di pojok ruangan menangis ketakutan. Suara ribut lain terdengar dari dalam.

"GUE BILANG BAYAR HUTANGNYA!" Terdengar bentakan keras dari seorang laki-laki.

"Iya, pak. Tunggu saya punya uang, pasti akan saya bayar." Yang ini suara bunda Kapisa, terdengar bergetar dan rapuh.

"Halah! Dua minggu lalu lo ngomong begitu! Sampe sekarang nggak lo bayar-bayar, sialan!" Balasannya tidak begitu baik, dilanjut gebrakan sana-sini.

Kapisa melangkah masuk dengan dada kembang-kempis. Melihat bundanya yang sudah terduduk berlutut, di depannya ada dua orang lelaki berbadan besar dan berotot sedang mengobrak-abrik isi rumahnya.

"Berhenti!" Jerit Kapisa marah.

"Udah gue bilang jangan kesini lagi! Hutang si bangsat itu pasti gue lunasin!" Lanjutnya dengan tangan terkepal emosi.

Dua orang itu berhenti, menatap Kapisa. Satu berkumis, satunya lagi berjenggot.

Yang berkumis menyeringai, mendekati Kapisa. "Disini juga lo. Habis pulang open bo lo? Gue juga mau dong."

Rahang Kapisa mengeras. "Jangan kurang ajar. Mending sekarang lo berdua pergi, nanti malem gue transfer 100 juta."

"Gitu dong. Bro, cabut." Katanya begitu melihat kilat serius Kapisa. Sempat ingin menyolek dagu gadis itu namun ditepis kasar hingga keduanya memilih pergi dan melemparkan tatapan tajam seakan memperingati Kapisa.

Kedua bahunya melemas begitu kedua orang itu sudah hilang dari pandangan, Kapisa buru-buru berjongkok. Membantu bundanya bangkit dan membawanya ke kamar.

"Kakak."

"Kenapa, bun?" Ujar Kapisa menanggapi panggilan Carmine, bundanya.

Mata sayu itu menusuk netra Kapisa, begitu lemah dan dalam. Seakan menceritakan keadaannya sekarang. "Selama ini kakak dapet uang darimana?"

Ia tersenyum kecil, menggapai tangan Carmine untuk digenggam. "Bunda nggak perlu tahu. Dan sudah berapa kali kakak bilang, bunda nggak perlu khawatir soal uang. Biar kakak yang urus, bunda istirahat aja. Hutang pria itu akan kakak lunasin."

Carmine mengusap lengan Kapisa. "Maaf, kak. Karena terlahir sebagai anak bunda"

Kapisa menggeleng cepat. "Bunda, kakak nggak suka kalau bunda udah bilang begitu. Mulai sekarang janji jangan ngomong gitu lagi?"

Tatapan Kapisa membuat Carmine tidak bisa membantah. "Janji."

"Bagus. Yaudah bunda tidur aja. Biar kakak, abang dan adek yang beresin rumah."

"Bunda juga mau bantu."

"Enggak boleh. Kata dokter bunda harus banyak-banyak istirahat, jangan banyak pikiran juga." Larang Kapisa langsung dan merebahkan tubuh Carmine di kasur, menyelimutinya hangat.

"Kalau ada apa-apa panggil kakak, ya?"

"Iya." Angguk Carmine.

Kapisa berdiri dan berjalan keluar kamar, diambang pintu Carmine berucap sesuatu yang membuatnya mendingin.

"Kak, jangan manggil ayah dengan sebutan bangsat lagi."

Ia berbalik menatap bundanya kosong, tidak mengindahkan ucapan Carmine. "Tambahan satu lagi, jangan pernah minta kakak buat manggil pria berengsek itu dengan sebutan ayah lagi atau sebut-sebut dia di rumah ini. Kakak tutup pintunya, bunda istirahat yang cukup."

Conglomerates and The PoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang