Tak Bisa Bersama

22 6 2
                                    

"Jika memantaskan diri membutuhkan waktu yang lama, maka aku akan menghabiskan sisa hidupku untuk memperjuangkan pemantasan diri terhadapnya."

---Hilma Ayyana Rasyid Ahmad---


***

Adam duduk dengan gusar, pikirannya berkelana mengingat kejadian tadi siang dan dia tidak bisa fokus saat mengikuti mata kuliah sore ini.

Wajah Hilma dan Hayya seakan bertarung di dalam kepalanya, dia bahkan mengucap istighfar berkali-kali karena bulan puasa seperti ini malah pikirannya tertuju pada lawan jenis. Seharusnya dia memperbanyak sholawat dan dzikir, tapi keresahan yang dirasakannya membuat hatinya tak tenang.

Adam memutuskan untuk pergi ke depan dan berdiri di samping dosen yang sedang menerangkan materi. "Permisi, Pak ...." Adam sedikit membungkukkan badannya; bersikap tawadhu' pada seorang guru adalah hal yang sangat ditekankan oleh orang tuanya.

"Iya, kenapa, Dam?" tanya Pak dosen tersebut sembari membenarkan kaca matanya yang sedikit melorot, padahal hidung bangir itu cukup untuk menopang kaca mata besar milik beliau.

"Boleh saya izin ke kamar mandi, Pak?" Adam masih membungkuk tawadhu' pada sang dosen, bahkan dia tidak pernah dengan berani menatap mata gurunya yang telah menyiramkan ilmu dalam hidupnya.

"Silakan, jangan lama-lama, ya, habis ini kita ada kuis dadakan."

"Baik, terima kasih, Pak. Permisi ...."

Adam bergegas keluar dari kelas menuju kamar mandi, dan tak disangka dia bertemu dengan seseorang yang membuatnya dilema beberapa saat tadi.

"Ning? Ada perlu apa ke sini? Bukankah ini gedung pascasarjana?" tanya Adam pada Hilma yang terlihat seperti tidak memiliki gairah hidup sama sekali.

"Ah, tidak, aku hanya ingin ke sini ... menyambangi calon imamku, siapa tahu ada di antara mahasiswa pascasarjana." Hilma memaksakan bibirnya tersenyum walau getir, dia berharap Adam mengerti apa yang disemogakannya saat ini.

"Ning ... untuk yang tadi ... aku ...." Adam tidak bisa berkata apapun, rasanya seperti tercekat di kerongkongan.

"Nggak apa-apa, Bang, aku paham maksud Abang. Tapi, jangan sakiti hati perempuan yang menaruh hati pada Abang. Dik Hayya mungkin berbeda keyakinan dengan kita, tapi hatinya masih milik Allah juga. Selagi dia belum menemui ajalnya dan menghembuskan nafas terakhirnya, dia masih punya kesempatan untuk menjadi muslimah sejati seperti dambaan ummanya Abang."

"Apa kau menganggap bahwa aku menaruh hati padanya dan menolaknya karena berbeda keyakinan dengan kita, Ning?" tanya Adam mulai terusik karena ucapan Hilma, padahal Hilma pun tidak menyinggung tentang perasaan Adam sama sekali.

"Aku tidak mengatakan hal itu, tapi aku yakin pasti semua lelaki juga akan terpana dengan kecantikan alami Dik Hayya." Hati Hilma mungkin sedikit nyeri saat mengatakan hal tersebut di depan Adam, tapi dia berkata jujur bahwa Hayya adalah gadis lugu yang memiliki paras cantik, dan tak bisa dipungkiri hal tersebut.

"Jika aku tidak demikian?" Adam mengelak ucapan Hilma, dan kemudian melanjutkan ucapannya lagi. "Aku akan menaruh hati pada orang yang tepat suatu saat, bukan di waktu cepat seperti ini."

"Kapan itu, Bang? Bukankah segalanya sudah Abang punya? Abang bahkan akan mewarisi pesantren orang tua Abang, bahkan gelar juga sudah Abang miliki di depan bahkan di belakang nama Abang. Kurang apa, Bang? Masih menunggu apa lagi?" Hilma nyaris menangis saat mengatakan hal tersebut, tapi dia langsung memalingkan wajah agar Adam tidak mengetahuinya.

Lakum Diinukum Wa Liya DiinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang