VENESIA • Part 34

Beginne am Anfang
                                    

Drake mengulurkan sebelah tangannya pada Siena. Gadis itu menatap tangan dan wajah Drake bergantian, tidak mengerti apa maksud pria itu.

"Naiklah, aku akan memegangimu."

"Hm...yeah, okay." Siena memegang tangan Drake. Sengatan listrik bertegangan rendah menjalar sampai ke seluruh sarafnya. Siena menarik nafas pelan lalu menaiki gondola itu dengan sedikit mengangkat roknya sepaha agar memudahkannya naik.

Setelah Siena duduk manis di gondola itu, Drake melompat ke atasnya. Mereka duduk berhadapan. Dia mengambil dua dayung sekaligus. Dibantu oleh pemilik gondola, orang itu membantu mendorong gondola menjauh dari bibir pantai. Setelahnya, Drake mendayung gondola itu mendekati laut.

Pemandangan dari laut yang bisa ditangkap Siena adalah laut biru yang enak, rumah-rumah kuno penduduk yang bertingkat-tingkat karena dibangun di atas bukit. Siena dapat melihat kota Venesia dengan warna-warni bangunannya.

"Ini sangat indah." Pujinya. Dia tidak bosan untuk memuji Venesia yang memang sangat menawan. Dia sudah pernah menaiki gondola bersama Miguel sepuluh bulan lalu, dan sampai sekarang, Venesia masih tidak berubah. Penuh kekaguman.

Venice was the first place for him to find peace. Drake tidak akan melewatkan satu detik pun saat ini untuk tidak menatapi Venesia. Venesia akan selalu melekat dihatinya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Drake mendayung dengan tenang saat mereka sudah lumayan jauh dari pinggir pantai. Hanya ada mereka berdua tanpa orang lain di sana. Ia menatap Siena, gadis itu berbaring menghadap langit sambil memejamkan matanya. Damai.

"Besok, aku akan pulang ke California." Gumam Drake pelan.

Walaupun suara angin menderu kuat, Siena masih menangkapnya dengan jelas. Ia bangkit dan menatap Drake bingung.

"Lalu?" Ia mengerutkan keningnya. Tidak mungkinkan pria itu mengajaknya kesini hanya untuk berpamitan? Siena menggeleng-gelengkan kepalanya.

Drake tidak menjawab. Ia meletakkan sepasang dayung itu di sampingnya, lalu berbaring menghadap langit. Ia memakai kacamata hitamnya. Rencananya sebulan lagi, dia akan kembali ke Venesia, namun bertepatan dihari itu, memperingati hari kematian Leah. Drake sangat bimbang. Dia tidak bisa begitu saja membatalkan peresmian yang sudah ditentukan, tapi mencoba tidak menghadiri acara peresmian itu, sangat tidak mungkin. Drake pasti akan merindukan Venesia.

Setiap tahunnya, Drake akan pulang ke Inggris saat memperingati hari kematian Leah. Dia tidak pernah melewatkannya. Sudah bertahun-tahun berlalu, namun Drake masih belum bisa melupakan gadis itu. Terhitung sudah tujuh belas tahun Leah meninggalkannya. Sebuah apresiasi untuk Drake yang tidak bisa mencinta lagi selama itu. Tahun-tahun yang dilaluinya tanpa Leah adalah mimpi buruk. Drake tidak tahu harus berbuat apa. Dia terjebak dalam cinta yang sudah mati. Bodoh memang. Setiap hari itu tiba, Drake akan menghabiskan waktunya di makam Leah maupun rumah papan yang memiliki kenangan mereka.

Langit melukiskan wajah Leah yang tersenyum. Tanpa sadar, Drake juga ikut tersenyum.

Dia memang menyedihkan. Begitu banyak tawaran cinta yang datang, tetapi Drake masih setia dengan Leah.

Apa pria itu ingin hidup sendirian seumur hidup? Tanpa pendamping?

Siena tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Drake. Tapi hari ini, dia memerhatikan wajah Drake yang sering sayu. Apa itu hanya perasaannya saja? Entahlah. Dia ikut berbaring dengan arah berlawanan, kakinya memanjang hingga sejajar dengan wajah Drake, begitupun sebaliknya. Bermenit-menit berlalu. Siena tidak bisa fokus. Ia terus melirik pria itu. Deru ombak dan suara angin mengisi keheningan.

Tak tahan lagi, Siena bangkit. Menatap Drake ketus. "Sebenarnya kau kenapa? Apa ada masalah? Ceritalah padaku, mungkin aku bisa membantu. Temanku bilang, aku adalah pendengar yang baik."

VENESIA - Carrington #3Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt