TIGA: CERITA (1)

13 3 0
                                    

Ya Tuhan!!

Punya dosa apa aku sampai seperti ini? 

Aku menang lomba dan mendapatkan yang aku mau. Piala dan uang. Semuanya kudapat seperti sebelumnya. Ucapan selamat dari guru, teman, dan kedua sahabatku. Semua kudapat juga seperti sebelumnya. Tapi rasanya semua hampa. Rasanya tak lega. Padahal, biasanya juga aku akan merasa senang dengan semua yang telah kudapat ini. 

Semua karena Nadine yang tak datang sampai acara ini selesai!

Satu-satunya keluarga yang aku punya. Yang kuharapkan bisa menyemangatiku hari ini, duduk disamping mendampingiku, memberiku ucapan selamat, dan memelukku. 

Semua ekspektasi indah itu hancur dalam sekejap ketika aku mendapat kabar dari Bu Alisa kalau Nadine kabur dari sekolah. Untungnya, satpam sekolah sigap menangkapnya.

Dia benar-benar ingin kabur dari sekolah! Tuhan, sakit sudah hati ini. Adikku sangat tidak menghargaiku sebagai seorang kakaknya. 

Apa yang ada dipikirannya hingga nekat kabur dari sekolah dan tak menghadiri ajakanku?

Mama, papa. Maafkan Nagea yang tidak menjaga Nadine dengan baik. Nadine, adikku sudah berubah. Semua berubah ketika aku meninggalkannya. Semua menjadi lebih buruk saat aku bertemu dengannya lagi. 

Ia tumbuh menjadi anak yang tidak sopan dan tidak menghargai orang.

Aku pergi menuju kelasnya. Aku tahu dia ada di sana dari Bu Alisa, semua murid sudah pulang. Semua pulang setelah lomba itu selesai. Menyisakan aku dan Nadine di sini. Kubuka pintu kelasnya dengan sedikit kasar dan kuhampiri meja Nadine yang letaknya berada paling belakang itu. 

Di depannya, kulempar pialaku dengan keras dan hancur berkeping-keping di depan kaki Nadine.

"Masih bisa bilang maaf atas semua yang udah lo perbuat? Masih bisa Nadine?" tanyaku dengan penekanan di semua katanya. 

Nadine yang duduk di kursi menolehkan kepalanya ke arahku dan mengerutkan dahinya. Setelah aku mendapatkan piala, Nadine mengirimku sebuah pesan. Hanya kata maaf yang tertera di sana. 

Hanya satu kata itu saja, tak ada yang lain.

"Terus aku harus gimana kak? Kan aku ngga bisa berbuat yang lain selain minta maaf," ujarnya enteng sambil tersenyum dan kembali menatap handphone-nya.

Seketika, kurampas dan kubanting juga seperti yang sudah kulakukan pada pialaku. Handphone itu retak dan masih menyala. Emosiku tak bisa kutahan. Aku sudah muak dengan sikap Nadine yang terlalu santai menanggapi ini. 

Hatiku sudah sangat sakit atas perlakuan Nadine.

"Kakak harus apa Nadine biar lo mau dengerin. Apa kakak harus berlutut dulu ke hadapan lo? Atau bahkan kakak harus sujud dulu di kaki lo itu biar lo ngedengerin apa yang kakak minta?! Apa sesusah itu lo nurutin kemauan kakak, Nadine? Kakak cuma pingin orang terdekat kakak nemenin kakak waktu lomba kayak peserta lain. Apa permintaan kakak terlalu berat? Kakak harus gimana biar lo nurut?!!" tak sadar air mata ini turun membasahi pipiku. Dengan kasar kuusap.

"Lo tahu ngga sih, rasanya diacuhin gitu aja sama orang yang lo sayang? Lo pasti ngga tahu rasanya diabaikan, Nadine!! Lo sudah terlalu banyak nerima sayangnya tante. Lo ngga ngerti kakak, Nadine. Kakak bener-bener kecewa!!! Kakak iri ngelihat peserta lomba lain yang didampingi keluarganya, orang tuanya. Mereka disemangati, Nadine. Lo, orang yang sangat kakak harapkan hadir, orang yang mungkin nanti akan menyemangati kakak, menenangkan kakak, mendampingi, memberi selamat, tapi lo malah ngga datang!! Kakak ngga ngerti harus ngomong gimana lagi, Nadine. Sakit loh." Kugelengkan kepalaku pelan. 

Kulihat Nadine hanya menunduk dan tak mau menatap ke arahku. Aku terus terisak menahan tangisan yang seharusnya tak keluar ini.

"Sudah selama ini kakak mengharap akan datangnya keluarga kakak, yang bisa sedikit saja membuat kakak bahagia. Sedikit saja!! Ketika mama dan papa pergi dengan begitu cepat, kakak masih merasakan kekosongan itu Nadine. Sampai sekarang! Capek, Nadine. Capek. Kakak capek ngejalanin semua ini. Nunggu yang ngga pasti. Lo malah kabur dari sekolah. Mau lo apasih? Lo. Adik gua yang gua kenal dulu. Ngga ada sekarang. Di mana adik gua yang sekarang? Di mana sikap adik gua dulu yang manis, yang perhatian, yang selalu ada di samping gua. NGGA ADA! Nadine yang kecil dulu mungkin sudah mati. Dia mati!! Nadine yang sekarang bukan Nadine. Dia kek orang lain." Aku menarik napas pelan. 

Aku tertawa getar atas ucapan yang sudah aku utarakan tadi. Aku bingung harus mengatakan apa lagi. Rasanya sudah cukup mengutarakan semuanya. Aku harap Nadine bisa introspeksi diri agar dia tak berulah seperti ini lagi.

"Kakak pulang. Kakak ngga mau bicara sama lo dulu. Lo pikirin apa yang sudah kakak omong tadi." Aku membalikkan badan dan kemudian berjalan. 

"Inget juga pesan terakhir mama buat selalu jadi orang baik," lanjutku. Aku pergi dari kelas dan menyisakan kesunyiaan.

Ketika aku keluar kelas Nadine, kulihat Bu Ine di depan kelas. Dia sedang membuka laptopnya, sedang mengecek tugas muridnya mungkin. 

Aku tak tahu dia mendengar percakapanku dengan Nadine atau tidak. Aku tak peduli lagi. Aku sudah lelah dengan Nadine. 

Aku rasa, kehadiran Nadine di sini membuatku menjadi koleris dan melankolis secara bersamaan.

@@@@@

HAI HAI HAIII!!

Ini Bellissimo! Gimana-gimana bagian kelimanya? Masih belum greget ya? Masih ngambang ceritanya kann. Yuk baca lagi bagian selanjutnya!

Ini masih awal, guys. Jadi, baca terus yuk!

Oh iya, jangan lupa vote dan komen di bagian ini ya! Aku sangatt berterimakasih kepada kalian yang melakukannya untukku!

Kalian juga bisa kasih kritik dan saran yang membangun!

Note: tetap menggunakan bahasa yang sopan dan tidak menyinggung pihak manapun

Okee, sampai jumpa di bagian selanjutnya!

LOVE FROM BELLISSIMO

8 PMWhere stories live. Discover now