Prolog

494 34 0
                                    

Langit Jogja kali ini basah. Gerimis dari siang hingga sore ini tak kunjung reda. Becek dimana-mana. Aku duduk termenung di balkon. Menatap mendung dengan murung.

Aahh... Gara-gara hujan ini aku tak bisa ke candi Prambanan. Menyebalkan!

"Lagi opo, Le?" Seorang nenek muncul di ambang pintu.

Aku hanya menoleh sesaat, lalu menatap lagi ke depan dengan cemberut.

"Sebel ndak iso jalan-jalan?" ucap beliau sembari duduk di sampingku. "Kamu tahu ndak ceritanya candi Sewu?"

Aku tersenyum kecut. "Cuman legenda, Mbah. Apa istimewanya?"

"Legenda iku berawal teko sesuatu seng ono. Lalu diceritano turun-temurun hingga menjadi suatu kisah seng epik. Koyok candi Sewu kui."

Aku menatap Mbah. "Maksud Mbah cerita Roro Jonggrang yang dikutuk jadi batu karena menolak cinta Bandung Bondowoso? Ah, itu legenda klise," sahutku, masih cemberut.

Mbah tetap ramah. Tersenyum simpul. "Iku legenda seng menarik. Tentang cinta, tahta, dan keluarga. Mbahke mbahmu iki pernah crita kalau kisah iku bukanlah cinta sepihak. Toh, iku cerita jaman biyen. Sopo seng ngerti kedadiyan sebenere."

Aku mengerutkan kening bingung. "Maksud Mbah, Roro Jonggrang dan Bandung Bondowoso saling mencintai?"

Mbah mengangguk. "Mau denger cerita versi neneknya nenekku?" ucap Mbah penuh makna, mengikuti gaya bicaraku.

Aku tersenyum simpul. Akhirnya. "Aku nggak bisa lihat candi hari ini. Mungkin cerita Mbah bisa memperbaiki moodku. Memangnya bagaimana cerita cinta mereka berdua, Mbah?"

Mbah memperbaiki duduknya, menarik nafas, lalu mulai bercerita.

"Jaman dahulu kala..."

###

The Legend of PrambananWhere stories live. Discover now