Part 2

86 5 1
                                    

Cukup tahu ku dirimu. Cukup sakit ku rasakan ini.

Pelajaran terakhir pun berakhir. Aku langsung bergegas keluar kelas menuju kelas Carlos. Hampir sedikit lagi sampai, sebuah tangan menarik tangan ku dengan reflek aku memutar badan hampir terjatuh. Memang benar, aku terjatuh. Terjatuh di dada seorang.. laki-laki? Tunggu, laki-laki??! Aku menenggakan kepala melihat siapa pemilik tubuh ini. Galih.

"What are u doing?"

"Finished my job."

"What?! Are u insane? I have something more important than your job!"

"Wrong Eve. Itu kerjaan kita."

"Terserah! Pokoknya jangan sekarang Galih. Maaf." Aku meninggalkan Galih berdiri dengan tatapan yang tak bisa di tebak.

Sesampainya di kelas Carlos aku hanya bisa menghela nafas. Kelas itu sepi. Tapi tujuan ku bukan untuk menyerah. Aku pergi meninggalkan kelas itu dan menuju basecamp club dance, kantin sekolah.

Ketika kakiku menginjak anak tangga. Aku mendengar suara. Suara yang tidak asing bagi ku.

"Tinggalin dia Carlos. Kamu lebih milih dia apa aku?"

Itu suara yang cukup jelas aku dengar. Perkataannya hampir memporakporandakan hatiku. Suara Ivana Joe.

---

"Hai sobat Youngers Radio. Hari ini kita dapat banyak request lagu Band Rectovero nih. Wih hebat ya Rectovero! Ini band baru loh! Yang personilnya juga masih muda-muda. Tapi mempunyai bakat. Yaudah yuk langsung aja, ini dia Rectovero dengan judul Sahabat makan Hati."

Aku tercengang mendengar judul lagu itu. Yang ku akui sangat pas dengan kondisi ku sekarang ini. Aku tersenyum sinis. Mendengarkan suara sang vokalis band itu. Apa yang dia ucapkan. Membuat aku meresapi lirik-lirik lagu tersebut. Tanpa sadar air mata ku menetes. Tidak hanya menetes tapi malah menjadi deras seperti hujan yang mulai turun.

Terbayang oleh ku kejadian tadi di sekolah. Aku hanya bisa lemas mendengarkan semua obrolan mereka berdua. Sakit memang. Tapi aku tidak sekuat yang orang-orang fikirkan. Aku hanya bisa meninggalkan tempat itu tanpa harus marah-marah. Meninggalkan seseorang yang memang harusnya ku tinggalkan. Dan meninggalkan sahabat yang begitu baik di depan ku saja.

Suara ketukan pintu kamar ku membangunkan ku dari lamunan ku.

"Siapa?" Tanya ku dengan suara serak.

"Ini Bunda, Eve. Kamu ga apa-apa kan nak?"

Aku menghapus air mataku. Dan berkaca di cermin. Meyakinkan diri ku, bahwa aku baik-baik saja. "Ya Bunda. Eve baik aja kok." Ucap ku seraya membukakan pintu. Terlihat Bunda dengan wajah khawatirnya.

"Ada teman kamu yang berkunjung."

"Siapa Bunda?" Tanya ku penasaran.

"Namanya Galih. Sekarang dia ada di ruang tamu."

Aku menunduk lemas. Ketua kelas menyebalkan!

---

Hening. Hanya suara hujan yang terdengar dari ruang tamu ini. Aku tidak habis fikir, mengapa Galih sangat bersemangat mengerjakan sebuah tugas yang menurutku tidak begitu penting.

"Habis nangis?" Tanyanya kepadaku tiba-tiba. Reflek aku memegangi kedua mata ku.

"Ng.. nggak kok." Galih hanya tertawa kecil.

"Ga usah berpura-pura sok tegar kalau memang lagi sedih. Itu semua kelihatan dari mata lo."

Perkataan Galih benar. Aku berusaha untuk tegar. Karena aku tidak ingin di anggap lemah. Tapi apa daya jika sudah ketahuan seperti ini.

"Lo bisa cerita sehabis kerjaan kita selesai. Kalau lo mau sih." Lanjutnya yang membuat aku tersenyum kecil.

"Kenapa lo baik gini?"

"Emang dasarnya gue baik kali." Jawabnya narsis membuat aku tertawa. Well, aku akhirnya tertawa. Galih pun tersenyum puas. Lalu kami berdua hanyut kembali dengan tugas kami.

---

Orange juice sudah tersedia di meja. Buku-buku kami pun sudah di bereskan. Dan inilah waktunya aku mencurahkan semuanya. Galih menatapku dengan tatapan ingin tahu. Aku menghela nafas. Dan ia mengacak rambut ku.

"Gausah cerita kalau memang belum siap Eve." Ia pun beranjak dari tempat duduknya. Tapi dengan reflek tangan ku memegang tangannya.

"Sudah siap kok."

"Yakin?" aku mengangguk dengan penuh keyakinan. Aku pun memulai cerita ku dari awal masalah sampai ke titik akhirnya. Terlihat Galih sangat mendengarkan ceritaku. Dan itu membuatku nyaman.

"Lalu setelah ini, kamu ingin berbuat apa?"

"I don't know. Mungkin harus menjauh dari mereka berdua."

"Tidak ingin mengakhiri hubungan kalian dulu? Maksud aku, kamu dan Carlos?" Aku terdiam sejenak. Lalu tersenyum.

"Itu pasti." Galih mengacak rambut ku kembali. Entah perbuatannya membuat aku sangat nyaman.

"Jangan terlalu di fikirkan. Aku pulang dulu ya." Aku mengangguk dan tersenyum.

"Makasih Galih."

"Sama-sama Evelina."

---

Sekarang aku sedang di kantin sekolah. Sebenarnya, sekarang jam pelajaran matematika. Tapi aku sangat membencinya. Pak Kasim mengantarkan nasi goreng yang aku pesan. Aku mulai makan dengan diam. Sampai suara gesekan sepatu terdengar di dekatku. Aku pun menengok ke arah asal suara itu. Carlos.

"Hai. Waktu yang tepat untuk bertemu bukan?" Sapa ku seperti biasa. Aku kuat. Itu yang ku yakini sekarang.

"Berubahlah Eve."

"Tumben sekali kamu menasehatiku Carlos"

"Aku sayang pada mu, kalau kau tahu itu." Aku hampir tersedak mendengar perkataannya. Lalu tawaku pun menyusul.

"Sayang? Kau sudah menduakan ku masih beraninya bilang sayang kepadaku?!" Emosi ku pun tak bisa di kontrol lagi.

"Ka.. ka.. kamu tahu?"

"Mulai hari ini kita akhiri saja Carlos." Aku pun meninggalkan ia dengan wajah bertanya-tanya.

---

Mr Kyle melihatku dengan tatapan mematikan. Tapi aku sudah biasa seperti ini.

"Belajar di luar saja Eve. Saya sudah bosan mendengar alasan mu."

"Baik Mr." Aku pun keluar kelas. Dengan perasaan kacau. Ingin menangis. Berteriak. Mengapa ini terjadi kepada ku?

Tak lama aku di luar kelas. Galih keluar kelas berjalan menuju tempat aku duduk. Dia memelukku, aku memberontak tapi ia malah mengeratkan pelukannya padaku. Air mata ku pu tumpah. Aku memeluk ia balik. Membenamkan kepalaku di dadanya. Menangis di sana lebih nyaman dari apapun. Dia mengelus rambutku. Dan berbisik.

"Everything will be alright, Eve. I'm promise."

Open Your HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang