Aku menangis ketakutan, merasa sangat takut jika mereka berdua sedang bersama. Karena, mereka akan lebih mudah untuk menyiksa ku.

Dario mencengkeram Pipiku dengan erat, memaksaku untuk menatapnya. Dia menyunggingkan senyum sadis diwajahnya, senyum diwajahnya mengisyaratkan bahwa dia benar-benar akan menyiksa ku habis-habisan.

"Apa yang harus kita lakukan pada adik kecil kita, Cirillo?" ucap Dario sambil terkekeh.

"Lwpwskwan akwu! Kwumohwon!" pintaku pada mereka, namun permintaan ku sama sekali tidak digubris.

"Hhe? Lihatlah sepertinya adik kecil kita kesakitan!" sambung Cirillo sambil terkekeh.

Dario mengeluarkan sebuah cutter dari sakunya, membuat mataku membelalak seketika.

"Bagaimana kalau kita membantu adik kecil kita agar ia tidak merasakan rasa sakit lagi, Cirillo!"

Cirillo terkekeh geli, "Ide yang bagus Dario!," kemudian ia beralih menatapku.

Aku berteriak keras, sambil memberontak. Dario langsung menampar pipiku, meninggalkan bekas kemerahan yang begitu jelas.

"Percuma saja kamu berteriak meminta bantuan. Lagi pula, siapa yang akan membantumu?. Papa? atau Mama?" Cibir Cirillo kepadaku.

Namun aku tak menyerah begitu saja, entah aku mendapat dorongan dari mana aku langsung menyahut gunting dari kolong nakas, lalu menendang perut Dario membuatnya menjerit kesakitan.

"Arrrghh ...!"

"Dario! ... Kurang ajar kau!"

Aku langsung menggunting rambutku yang di jambak Cirillo dengan asal, kemudian menusuk pergelangan tangan Cirillo dengan gunting.

"Arrgh ... sialan!"

Aku langsung berlari keluar kamar dengan membawa ponsel dan uang seadanya, aku berlari menuju ke minimarket terdekat. Kondisi ku sekarang terlihat sangat memperhatikan, luka lebam di sana sini, rambut berantakan dan wajah yang pucat. Beruntung aku memakai hoodie, sehingga aku dapat menutupi wajahku yang lebam. Aku membeli sebotol Soft drink, dan ramen instan untuk makan malam. Aku tidak peduli jika maag-ku akan kambuh, itu lebih baik daripada kelaparan di jalanan.

"Felicia?"

Aku terperanjat, ketika mendengar seseorang memanggil namaku dari belakang. Takut-takut, aku menoleh. Aangkah leganya, ketika tahu yang memanggilku bukan kedua kakak ku.

"Raphael? apa yang kamu lakukan disini?"

Raphael duduk di sebelahku, sambil membawa minuman dingin dan makanan instan. Raphael adalah sahabatku di sekolah, kalau boleh jujur aku sudah lama naksir kepadanya. Namun banyak gadis yang juga naksir padanya. Dia mendapatkan julukan manusia batu oleh orang-orang, saking pendiam-nya dia.

"Harusnya aku yang bertanya kepadamu, apa yang kamu lakukan disini?"

"Healing dong!" jawabku dengan nada ceria yang tampak dipaksakan.

"Aku tahu, kamu bohong" sambungnya.

"Heh? Enggak kok aku nggak―"

"Kamu bertengkar dengan kakakmu lagi kan?"

Ucapan Raphael mampu membuatku terdiam beberapa saat, aku tak tau bagaimana cara menyangkalnya. Satu-satunya orang yang mengetahui rahasiaku adalah Raphael, itulah mengapa kami saling terbuka satu sama lain.

"Tidak usah bohong padaku, wajahmu sudah menggambarkan semuanya." sambungnya.

"A-apa kelihatan?" tanyaku lirih sambil memegang Pipiku yang bengkak.

Hopeless 「Obey Me」Where stories live. Discover now