Marriage is just a fake - Solomon

406 57 1
                                    

Rating: 18+
Not sexual content

Readers Age 23

Warning: drugs, self harm, and depression, marriage problems.

Don't read if you are prone to depression

***

Hidup sebagai istri seorang ilmuwan tak lantas membuatmu bahagia. Orang–orang memandangmu iri, karena berhasil menikahi ilmuan kaya–raya, Solomon. Namun alih-alih hidupmu memang bergelimang harta, namun tidak dengan kasih sayang.

Alih-alih membangun rumah tangga yang bahagia, kamu merasa pernikahanmu dengan Solomon justru terasa seperti neraka. Solomon lebih memilih menyibukkan diri di laboratorium pribadi dengan eksperimennya. Nafsunya kepada Sains jauh lebih besar, dibanding harus menghabiskan waktu untuk sekedar berbincang dengan istrinya.

Selama tiga tahun menikah, kalian belum pernah tidur dalam satu ranjang. Ya, kalian tidur di kamar terpisah. Walaupun hanya ada satu kamar di mansion–pun, belum tentu kalian akan tidur dalam satu ruangan, karena Solomon lebih sering tidur di laboratoriumnya daripada di rumah. Padahal, jarak rumah dari laboratorium tak terlalu jauh, hanya tiga kilometer. Alasan Solomon membangun laboratorium cukup jauh dari mansion untuk menghindari kecelakaan saat ia tengah bereksperimen.

Lagi–lagi, kamu harus makan malam sendirian. Padahal, Solomon sudah berjanji ia akan pulang malam ini. Suara mobil memasuki garasi mansion membuyarkan lamunanmu. Begitu ia tiba di mansion, para maid berjajar menyambut kedatangan Solomon. Solomon memasuki ruang makan, dengan jas lab yang dikenakannya. Aroma bahan kimia dari jas lab Solomon membuatmu tak nafsu makan.

Maid segera membantu Solomon melepas jasnya, dan membawanya ke ruang cuci.

Kamu berdiri, dan memberi salam kepada suamimu, "Selamat datang kembali, tuan Solomon" ucapmu tanpa menyunggingkan senyum.

Sapaan yang sangat formal untuk pasangan yang sudah menjalani pernikahan selama dua tahun.

Solomon hanya mengangguk singkat dan duduk di ujung meja makan. Masing-masing kalian Kalian duduk berhadapan duduk ujung meja yang berbentuk persegi panjang yang panjangnya lebih kurang lima meter.

"Bagaimana harimu?" tanya Solomon basa–basi

"Baik" jawabmu singkat tanpa senyuman.

Setelahnya hanya ada suara dentingan peralatan makan, sebagai latar belakang. Baik kamu atau Solomon, sama-sama tak ingin membuka suara. Biasanya Solomon akan berceloteh mengenai kegiatannya selama di laboratorium. Katakanlah Solomon tak suka keheningan, namun kali ini? Sepertinya Solomon ingin menikmati keheningan nyaman, yang terasa canggung bagimu.

"Aku selesai" ucapmu sambil meletakan sendok dan garpu di atas piring.

"Baiklah, kembalilah ke kamarmu. Karena setelah ini, aku ada project bersama tim–ku"

Kamu membeku di meja makan, sambil menggenggam ujung gaun tidur dengan erat.

Rasanya kamu ingin berteriak, menangis di depannya, mengungkapkan bahwa kamu ingin menghabiskan waktu seharian bersama Solomon, memeluknya dan mengatakan bahwa kamu merindukannya.

Namun apalah daya, Solomon tak kunjung peka juga. Solomon benar-benar tidak peduli lagi denganmu. Bahwa kamu juga butuh kasih sayang, bukan hanya harta.

"Kapan kamu punya waktu luang untukku?" tanyamu dengan nada datar.

Solomon terkejut, namun dia tetap memasang ekspresi tenangnya.

"Mengapa kamu menanyakannya? Ada apa denganmu? Jawab aku, (Nama kamu)"

Kamu diam, menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

"Kamu tidak pernah menghabiskan waktu bersamaku, sejak kita menikah, Solomon. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu, dengan penemuan barumu, menghabiskan waktu lebih dari delapan belas jam di laboratorium. Tapi kamu tak pernah punya waktu untukku, bahkan untuk sekedar mengobrol, padahal kamu dengan suka rela menghabiskan waktumu di laboratorium, bergelut dengan proyek dengan tim mu. Bahkan merelakan jam tidurmu, dan bekerja lembur demi penemuan aneh mu itu!"

Solomon tertegun, ternyata gadis di depannya ini cukup blak-blakan.

"Untuk apa waktu luang? Aku sudah memberimu segalanya, (Nama Kamu). Harta, rumah mewah, pakaian mewah, barang–barang mewah, semua hal yang di sukai wanita. Itu sudah lebih cukup, (Name)" jawab Solomon dengan tenang.

"Bagaimana dengan cinta?" tanyamu lirih

Solomon menggeleng, "Kamu tidak butuh itu. Kamu seharusnya bersyukur, karena aku memberikan kehidupan yang sangat layak untukmu"

Solomon mengecek jam di ponselnya, sudah waktunya dia untuk kembali ke laboratorium. Solomon bangkit dari kursinya, dan berjalan melewati mu bahkan tanpa menatapmu sama sekali. Namun, kamu bisa mendengar suara Solomon yang begitu lirih berbisik di telingamu.

Lagipula ... kamu tidak bisa memberiku keturunan, kan?

DEG!

Kamu menangis di dalam kamar, membiarkan sprei kasur mu basah karena air mata. Kamu menarik lengan gaun tidurmu. Terdapat goresan sana–sini, terutama di sekitar nadi. Malam itu, kamu menambahkan goresan di tanganmu, membiarkan seluruh badanmu yang penuh goresan menggigil karena, dinginnya udara air conditioner.

Merasa frustasi dengan keadaanmu, bahwa kamu tidak bisa memiliki keturunan. Sekeras apapun kalian mencoba, tetap saja testpack selalu menunjukkan garis satu bukan dua. Sampai kalian konsultasi ke dokter kandungan, dan hasil pemeriksaan menyatakan bahwa kamu mandul.

Tanganmu meraih botol obat–obatan anti-depresan dari psikiater, yang kamu biarkan tergeletak di atas kasur. Kamu membuka dua tutup obat botol anti-depresan berbeda jenis, mengeluarkan seluruh isinya dan meminumnya dalam sekali tegak. Tak mempedulikan aturan penggunaan obat yang tertempel di kemasan.  Pikiranmu yang semula di penuhi oleh suara–suara aneh menjadi hening, kamu mulai dilanda kantuk yang luar biasa, dan perlahan menutup matamu.

"Selamat tidur, semoga mimpi indah (Namamu)"

The End

Hopeless 「Obey Me」Where stories live. Discover now