Kuliah Filsafat Cinta

10 1 0
                                    

"Saya mencintai istri saya." Ustadz Hasan berdiplomasi.

"Sejak kapan?" Salman membalas.

"Sejak kami menikah. Memiliki 5 orang anak. Saya mencintainya. Saya bersyukur atas kehadirannya." Ustadz Hasan berkisah dengan heroik.

"Itu bukan cinta." Sahut Salman sedikit sinis.

Ingin rasanya Ustadz Hasan melonjak berdiri dan menampar laki-laki tak tahu diri di hadapannya itu. Tapi ia urungkan. Ia adalah pemuka agama. Pantang ia mengandalkan otot dahulu daripada otaknya. Baiklah, peperangan dimulai.

"Bagaimana bisa disebut bukan cinta?" Tangkis Ustadz Hasan.

"Itu kasih sayang." Salman menjawab pendek.

Sekarang giliran Ustadz Hasan memeras otak. Mungkinkah dunia remaja sudah terlampau jauh dengan usianya sampai ia tak mampu membedakan mana itu cinta mana itu kasih sayang?

"Apa bedanya ya, akhi? Ustadz Hasan semakin kebingungan.

"Jika antum mencintai apa yang ada di hadapan antum, itu kasih sayang. Jika antum mencintai apa yang sedang atau telah hilang itulah cinta." Salman berkisah lembut sambil menatap langit-langit kamarnya.

Ustadz Hasan terperangah demi mendapat kuliah filsafat cinta semester akhir sore itu. Lembaran ijazah Al Azhar Mesirnya seakan terbang jauh tak mampu bersanding dengan materi kritik cinta level postgraduate dari anak kemarin sore kelahiran Pamekasan Madura: Salman Al Afghaniyy.

"Tidak ada bedanya bagi saya. Dan tidak ada urgensinya mengagungkan kata cinta. Jika itu artinya merengek-regek pada sesuatu yang telah pergi." Ustadz Hasan melemparkan tombak.

"Jika itu tidak penting. Tidak berurgensi. Mengapa perasaan itu terus melekat di hati saya, ustadz?" Salman mencari pembenaran.

"Saya tidak tahu. Mungkin itu hanya bisikan sye..."

"Ustadz!" Sergah Salman marah. Ia tak rela cinta sucinya direndahkan.

 Ia tak rela cinta sucinya direndahkan

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
Bidadari SalmanDonde viven las historias. Descúbrelo ahora