Hari Penghakiman

13 1 0
                                    

"Saya. Saya harus jawab bagaimana, ustadz?" Salman tergugu melepas gugup.

"Jelaskan, ustadz. Antum berhak memiliki alasan. Dan saya berhak tahu, karena saya sendirilah yang bersikeras menjodohkan antum dengan Ustadzah Farika. Terus terang saya kaget. Mungkin kecewa. Kenapa antum memilih keputusan itu? Ada apa? Apa dia kurang cantik? Kurang sholihah? Kurang hafalannya?" Ustadz Hasan memborbardir sang tawanan perang yang terikat erat itu tanpa ampun. Salman menggeliat pelan mencoba melepaskan diri dari situasi intimidatif yang tidak nyaman tersebut. Ia gagal.

"Saya. Boleh menjelaskan?" Salman tak kuasa menatap sang pimpinan pondok pesantren tersebut.

"Ya. Silahkan. Saya mendengarkan." Ustadz Hasan melemparkan pelan punggungnya pada dinding kamar yang semakin dingin tersebut.

"Izinkan saya bercerita sebentar, ustadz." Salman menatap tipis ke arah sang tamu. Ustadz Hasan mengangguk lewat matanya.

"Dahulu, saat saya kecil, saya pernah sekali mengidamkan martabak Bangka alun-alun Pamekasan. Martabak tersebut enak sekali. Kulitnya renyah. Dagingnya bergumpal-gumpal tebal. Tetesan minyaknya harum. Irisan sayurnya indah. Potongan perseginya sempurna. Dan yang utama, aroma telur bebeknya, ustadz, melelahkan kelenjar liur saya yang tak berhenti mengagumi. Itu adalah martabak nomor 1 di Pamekasan." Salman membuka sebuah epik masa kecilnya. Ustadz Hasan menyimak dengan dahi mengernyit. Tiba-tiba ia ingin makan martabak.

"Suatu hari, abah mendapat rezeki, hasil mengisi pengajian di kampung sebelah. Dan beliau berkata akan menghadiahi saya martabak Bangka alun-alun Pamekasan." Pikiran Salman menerawang menembus jendela kamarnya. Ia melanjutkan, "butuh bersepeda 30 menit dari desa saya ke alun-alun. Kami bersepeda berdua dengan perasaan tak sabar. Dari kejauhan sudah tampak binar lampu alun-alun. Kamipun memutari alun-alun mencari sang penjual martabak. Tapi nihil. Hari itu ternyata sang penjual ghoib. Pergi entah ke mana."

Salman membenahi duduknya. Ia mulai serius.

"Martabak yang saya idamkan itu kandas. Abah kemudian berputar arah. Ada tukang martabak lain di perempatan kantor KUA. Kami menuju ke sana dan membeli martabak pengganti. Kulitnya martabaknya kasar. Sayurannya pahit. Dagingnya tipis, setipis mukena mamak. Dan telurnya ustadz? Telur ayam! Demi semua tukang martabak seantero Madura, tukang martabak mana yang sembrono memakai telur ayam di adonan martabak, ustadz? Karena itu saat sampai di rumah saya menikmatinya dengan setengah hati. Karena bukan itu makanan yang saya inginkan. Rasanya beda. Meskipun sama-sama martabak."

"Kamu mencintai wanita lain? Siapa?" Ustadz Hasan mulai menebak arah pembicaraan Salman.

"Kamu mencintai wanita lain? Siapa?" Ustadz Hasan mulai menebak arah pembicaraan Salman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bidadari SalmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang