"Nggak, kok, baru selesai makan. Masuk dulu—"

"Di sini aja, saya nggak lama, kok."

Jia terkejut, tapi ekspresinya segera diredam. "Oh, oke."

Arun mengangkat bunga lisianthusnya ke atas pagar yang sebatas dadanya. "Mbak Drina lagi ngerjain pesanan buket lagi. Saya minta bunganya satu. Barangkali kamu suka."

Perasaan Arun pada Jia masih tulus. Jia juga selalu menarik baginya. Namun, yang tidak lagi Arun punya adalah seumur hidup; arti dari bunga yang digenggamnya ini. Begitu dia menyerahkan seumur hidup kembali pada Jia, Arun bisa fokus berjalan maju, meletakkan seumur hidupnya pada yang lain.

Jia ber-wow rendah dan perlahan menerima bunga itu. Pipinya bersemu, bisikan 'terima kasih'-nya selayaknya respons normal untuk gestur romantis. Malangnya, Arun menangkap kecurigaan di gerak-gerik itu—lebih tepatnya sesuatu yang ditutupi. Alis Jia seolah mengungkapkan kelegaan bahwa Arun masih memperlakukannya seperti biasa, terlepas dari apa yang sudah dia lakukan.

Bukan hanya Jia yang dapat membacanya. Arun pun demikian.

"Sekarang saya cuma bisa kasih satu tangkai," ungkap Arun. "Tapi nanti mungkin @GalaArdian_SP bakal kasih kamu sebuket penuh."

Warna di wajah Jia seketika surut.

Senyumannya, rona pipinya, binar matanya, hilang, hilang, hilang. Arun lega dan sesak bersamaan sebab tebakannya benar. Jia menjatuhkan bunganya, kemudian tangannya menangkup mulut hingga hanya kedua matanya yang berkaca yang terlihat. Pundaknya bergetar. Kelopak lisianthus berserak di dekat kakinya. Suaranya teredam.

"Arun, aku—" isaknya. "—aku nggak tahu harus mulai dari mana—"

"Nggak usah, Jia. Saya nggak perlu penjelasan apa-apa."

"Aku tahu aku bodoh, egois, dan ini nggak adil buat kamu, dan kamu pasti marah—"

"Siapa yang marah?" Arun menyeringai. "Memang saya bilang saya marah? Nggak, kan?"

"Arun, aku benar-benar—aku harus kasih tahu sebelum kamu berpikir aku nggak sayang sama kamu. Aku senang kita bisa sedekat ini. Kamu orang pertama yang aku suka, dan kecelakaan itu bukan salah kamu. Sama sekali. Bukan tanggung jawab kamu jagain aku, tapi kamu tetap melakukan itu."

Arun menatap Jia lurus. "Jelas itu tanggung jawab saya, Jia. Seenggaknya saya yang udah janji sama diri sendiri buat jagain kamu."

Bukan ini yang Arun harapkan akan terjadi. Bukan nada meninggi yang penuh tekanan, atau gestur sarkastis, atau penyangkalan. Namun, sangat sulit menahan itu semua, tak peduli betapa lemahnya suara Jia dan derasnya bulir air matanya yang mengalir. Ditekannya nyeri di dada sekuat mungkin dengan mengatur napas. Tidak begitu berhasil. Arun menguatkan rahangnya.

"Aku selalu pengin ada di samping kamu," ujar Jia lirih. "Aku selalu berterima kasih sama Tuhan bisa kenal kamu. Aku akan selamanya ada buat kamu. Tapi ..."

"Nggak lebih dari teman kecil," lanjut Arun pahit.

Jia diam, tak menyangkal.

Berbagai pertayaan meraung di kepala Arun. Sejak kapan. Di mana. Bagaimana. Mengapa. Apakah bisa. Apakah tidak bisa. Terlalu mendesak untuk dikeluarkan satu per satu. Maka, Arun memilih berkata hal lain, yang lebih ingin Jia dengar.

"Saya udah tahu dari awal, kamu pasti ditakdirkan buat hal yang besar." Mata Arun mencoba menemui pandangan Jia. "Nggak kayak saya yang lihat ke belakang terus. Makanya nggak maju-maju. Pilih jurusan nggak selesai-selesai. Main bola nggak dilanjut. Masa depan belum tahu mau ke mana. Tapi kamu beda, Jia. Saya juga udah bilang dari awal, saya nggak bakal menghalangi mimpi kamu jadi dokter hewan. Saya pengin lihat kamu selamatkan zebra di Kenya atau jaga penangkaran orang utan, atau punya klinik sendiri yang ikut dijaga si Jack Sparrow kalau panjang umur. Saya—saya terluka, tapi kalau itu bisa bikin kamu senyum, saya nggak apa-apa. Sekarang, saya cuma pengin lihat kamu menjalani impian kamu, walau sama TikToker berbaju catur. Itu udah cukup."

MemoriografiWhere stories live. Discover now