15

485 166 13
                                    

"AKU nggak tahu Arun lagi di sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"AKU nggak tahu Arun lagi di sini."

Momen seperti ini seharusnya terjadi di kafe, atau di toko buku, atau di lapangan futsal saat turun minum, bukan rumah perawatan. Jia mengenakan rok selutut, blus berenda, dan jepit rambut pada poninya sehingga lebih rapi. Tangannya memeluk file folder warna biru. Di balik senyumnya, Arun menangkap keganjilan. Yah, apa lagi kalau bukan karena melihat keganjilan di depannya ini.

Saat ini, Arun punya dua pilihan: jujur atau dusta. Atau ... antara jujur dan dusta. Meski Arun yakin Jia tak akan mengadukan perbuatan panjat-memanjatnya, dia mungkin akan bertanya lebih jauh, dan Arun tak mau buang-buang waktu dan tenaga untuk itu.

Arun menggerenyet dari pegal yang dirasanya. "Eh, iya. Katanya, Ibu Lis dirawat di sini."

"Oh," gumam Jia. "Jangan-jangan, buket itu dibeli karena nggak ada yang jenguk? Kasihan ..."

"Bisa juga. Wah, saya baru kepikiran."

Saat Arun mengangkat kantong buket, dia turut melihat Orlin dari ekor mata. Rahangnya anjlok. Bolak-balik kepalanya menengok ke Arun dan Jia. Namun, bukan karena meminta dikenalkan, tapi karena dia sedang mencari tahu sendiri apa yang terjadi.

"Kami suka ngobrolin buket Ibu Lis," terang Arun pada Orlin. Lagi pula, urusan pengiriman buket memang bukan rahasia, bukan? Baik Orlin maupun Arun bebas menceritakannya pada siapa pun.

Jia mengangguk. "Kalian keren banget bisa cari pembelinya sampai sini."

Orlin makin melongo. Biarkan saja dia bingung menentukan hubungan apa Jia dan Arun ini.

Arun menghampiri Jia, agar Jia merasa dia tetap diutamakan, dan agar Orlin ikut mendekat. Taktiknya berhasil. Arun berdeham sebelum menjelaskan, tentu saja pada Jia lebih dulu.

"Jadi, Orlin dan saya sampai sini pukul sembilan lebih, tapi jam besuk dimulai dari pukul sepuluh. Makanya kami lihat-lihat ke sini, siapa tahu papasan sama Ibu Lis. Eh, nggak tahunya Orlin kesandung. Akhirnya saya tolongin, deh. Saya juga nggak nyangka ketemu kamu di sini, Jia."

"Tapi kamu nggak apa-apa, kan? Kelihatannya kamu kesakitan." Jia menilik siku kirinya.

Senyum Arun barangkali kelewat lebar, tapi ya, sudahlah. "Nggak apa-apa, kok. Cuma sempat hampir jatuh juga di tempat yang sama."

Jia mengangguk. "Aku baru aja ngurusin surat keterangan sehat buat seleksi mandiri," ujarnya. "Mamaku pilih di sini karena sepi walaupun jauh. Katanya kalau di klinik lain banyak yang ngantri. Terus, walau dikenalnya rumah perawatan, tetap aja namanya rumah sakit, kan?"

"Kamu udah siapin buat seleksi mandiri? Bukannya masih nanti?"

"Kalau dinanti-nanti, lama-lama nggak kerasa udah telat." Jia terkekeh. "Jurusan Kedokteran Hewan di kampus itu juga salah satu yang terbaik. Jadi aku nggak mau nunda-nunda."

MemoriografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang