16

473 150 4
                                    

ARUN menyimpan KTP-nya kembali ke dompet

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ARUN menyimpan KTP-nya kembali ke dompet. Disakukannya kembali dompet itu. Orlin juga baru selesai menutup tasnya, mengganti dompet dengan kunci motor. Mereka saling menoleh lemas sebelum berjalan ke lahan parkir, meninggalkan bangunan rumah sakit teraneh yang pernah Arun datangi sekaligus berusaha menghapus rasa malu teraneh yang pernah Arun alami.

Ibu Lismaya Winangun, bibi dari Dokter Aramia Winangun, memang dirawat karena penyakit diabetes II. Dulu sekali, Dokter Mia sempat membuka praktik di rumahnya sebentar, tetapi sebagai dokter umum. Beliau mengambil spesialis saraf lalu pindah ke rumah sakit—Bestari Holistic salah satu dari dua tempat kerjanya. Sejak tinggal dekat dengan Ibu Lis, Dokter Mia mengganti tanaman bunga di rumahnya dengan buah karena Ibu Lis sering berkunjung, baik untuk silaturahmi maupun minta diantar untuk pemeriksaan rutin. Sampai akhirnya, dua hari sebelum Dokter Mia pergi dinas, kesehatan Ibu Lis drop sehingga harus rawat inap.

Oh, dan ingatan Ibu Lis masih tajam. Usai meminta maaf sambil menunduk, Arun diingatkan bahwa kantong buketnya tertinggal sambil memuji warna peach bunganya, meski saat dilempar Dokter Mia kantong itu jatuh dalam keadaan telungkup. Beliau ikut menambahkan bahwa jika tidak alergi, pasti bunga itu akan diterimanya, tak peduli alasan sesungguhnya buket itu bisa sampai di sini.

"Tahu, nggak, apa yang paling nyebelin?" Orlin melempar-lempar rendah kunci motornya. "Dari semua petunjuk yang kita ikuti, semuanya mengarah pada Ibu Lis, tapi semuanya Ibu Lis yang salah."

Arun pun baru tahu ada kebetulan yang merugikan seperti ini. Diliriknya buket dalam kantong. Tangkai-tangkainya bengkok akibat benturan terutama tangkai dedaunannya. Mau bilang apa lagi pada Mbak Drina? Hari masih panjang, tapi Arun kadung malas luar biasa, sampai jika Mbak Drina masih punya tenaga untuk protes dia akan mendengarkannya seperti siniar Pangeran Siahaan. Letih emosinya mengalahkan bugar tubuhnya. "Kayaknya kita pulang aja deh, Lin."

"Loh? Saya pikir kamu punya ide lain. Kelihatannya, sih, gitu."

Arun memang punya ide lain. Namun, sampai tahap ini hanya satu pilihannya agar berhasil: memaksa Orlin menuruti rencananya. "Tapi kamu janji dengerin saya dan ikutin apa kata saya."

Orlin menyalakan motornya. Dia duduk di kursi depan.

"Hubungin Ibu Lis."

"Jadi, kamu nyerah?"

"Itu bukan nyerah namanya, tapi common sense. Kalau kita dari awal hubungin beliau, nggak bakal ada drama manjat-manjat sampai kejar-kejaran kayak tadi."

Orlin mengembuskan napas. Tumben. "Oke. Kita ikutin ide kamu."

Sekilat dan semudah itu. Mencurigakan. "Kamu capek?"

"Saya bukan atlet. Habis ini otot-otot saya nimbun asam laktat dari pembakaran nggak sempurna." Dia mengangkat lengannya enggan. "Nggak, saya cuma mau nurutin ide hubungin Ibu Lis, bukan saran harus olahraga rutin. Terima kasih."

MemoriografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang