20

469 151 35
                                    

ANGKOT yang tepat akhirnya datang setelah Arun menolak tiga angkot jurusan berbeda dalam sepuluh menit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ANGKOT yang tepat akhirnya datang setelah Arun menolak tiga angkot jurusan berbeda dalam sepuluh menit. Selepas turun dan membayar, dia berjalan kaki sampai ke depan rumah. Dia masuk, menaruh helm, mengucap salam yang hanya dijawab keheningan, dan berlalu ke lantai dua setelah mencuci kaki. Mbak Drina tak bersuara apa-apa—barangkali sedang di ruang kerjanya membuat pesanan. Direbahkannya tubuh ke kasur sembari menatap langit-langit kamar. Dingin seprainya meredakan hawa panas dari luar yang terperangkap di punggung kausnya.

Namun, gelisah tetap memenuhi dadanya.

Sebentar. Sebuah kesadaran tiba-tiba menyentaknya. Ini benar-benar hari terakhirnya mengantar buket. Kewajibannya gugur sudah. Lalu apa yang membuatnya bertahan selama dua pekan kurang ini? Mengapa dia tidak menyerah? Padahal Mbak Drina sangat mengerti jika dia mau berhenti saja. Memikirkan kecelakaan dan akibat setelahnya sepanjang jalan tadi mengantarnya pada pemikiran baru ini. Arun bangun dan terduduk. Inilah yang sesungguhnya.

Dia menikmati pencarian alamat Ibu Lis.

Dia masih punya visi ke depan—meski jangka pendek.

Dia tak sepenuhnya terjebak. Hanya penyangkalannya saja yang merangkak sedemikian jauh hingga dia baru menyadarinya sekarang. Masih ada harapan untuk lepas dari fatamorgana kenangannya.

Diraihnya ponsel. Dibukanya aplikasi Twitter. Harapannya runtuh lagi. Dia belum siap melihat twit Jia, belum siap menghadapi jika nantinya mereka benar-benar kembali jadi teman. Atau malah pura-pura tak saling kenal. Tidak, tidak, Jia tak akan sejahat itu. Apa Arun akan sejahat itu saat sakit hatinya bertindak? Digulirnya linimasa sebelum memberanikan diri melihat akun Jia dengan membaca-baca berita bola terkini, komentar Justinus "coachy" Lhaksana, sampai twit terusan Instagram yang diunggah akun SSB-nya, sesuatu tentang perekrutan baru. Lalu, dia mencari profil Jia dan masuk.

Arun mengambil napas panjang.

Ya, twit terakhirnya masih balasan untuk cowok timur pulau itu. Di bawahnya juga balasan, tapi untuk twit yang berbeda. Sepertinya benar cowok itu punya akun TikTok. Ke bawah lagi, ada balasan yang agak panjang, dan kali ini menanggapi pendapat seorang anonim di akun base lain tentang pertemanan toksik. Jia menceritakan hubungannya dengan Uchi dan Rani yang selalu mendukung keputusannya tapi tetap menasihatinya bila salah—sejujurnya ini manis sekali dan dua cewek itu pasti terharu kalau tahu. Namun, ya, dia membalas di bawah akun yang sama. Si cowok TikTok.

Makin ke sana, nama akun itu selalu muncul di tengah twit dan balasan lain. Jia sudah mengenal orang asing itu lebih lama dari yang Arun sangka.

Rasanya hampa, tetapi juga berat. Jiwanya bak meninggalkan raga untuk digantikan dengan apa pun yang menekan hatinya ini. Siapa yang berinteraksi sebanyak itu dengan seorang mutual jika bukan karena nyaman? Belum lagi intuisi Arun mengonfirmasi ada percikan aneh di antara mereka, yang serupa tapi tak sama di antara Arun dan Jia. Sial. Kalau hati dan otaknya sudah setuju begini, kemungkinan besar kecurigaannya tepat. Arun kenal Jia bertahun-tahun. Emoji dan pemilihan kata ini tak akan diberikannya jika dia tak ingin mengenal lawan bicaranya itu.

MemoriografiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang