57 || Selamat jalan sang pemenang

Mulai dari awal
                                    

"Bentar aja, Vin. Penting." kata Rissa lagi.

Gavin menghela nafas kemudian berdiri dari duduknya. Cowok itu melirik kearah sahabat-sahabatnya lalu berjalan meninggalkan lapangan.

Rissa menampilkan senyum miringnya sebelum ikut menyusul Gavin.

*****

Zean menolak suapan terakhir dari Calista. Cowok yang masih di perban kepalanya itu menggeleng pelan tanda ia sudah tidak ingin makan lagi.

"Zean udah kenyang, Ma." ujarnya.

"Terakhir ya sayang? Zean harus makan, biar cepet sembuh." sekuat tenaga Calista membujuk anak nya itu.

"Apa Zean bisa sembuh, Ma?" Zean mengalihkan pandangannya kearah luar jendela. Tatapan matanya menyiratkan rasa sakit yang saat ini sedang menggerogoti tubuhnya.

Untuk pertama kalinya Zean berkata seperti itu setelah Calista mengetahui tentang penyakitnya.

"Zean tidak boleh bicara seperti itu! Percaya pada Tuhan, ya Zean pasti sembuh." Calista tak dapat menahan rasa sesaknya jika Zean berbicara seperti itu.

Tak sengaja mendengar pembicaraan Calista bersama Dokter Aurin tadi pagi, membuat Zean sedih. Ia tak masalah jika umurnya yang tak akan lama lagi. Zean sudah menduga semua yang akan terjadi padanya akan segera tiba.

Namun, saat ini yang sedang ia pikirkan adalah bagaimana keadaan Calista saat ia pergi nanti. Bagaimana kehidupan Calista saat ia tak bisa menjaga dan melindungi Mama nya dari setiap amarah dan emosi Harry, Papa nya.

Disaat seperti inilah yang membuat Zean merasa dirinya semakin lemah. Lemah bukan karena penyakitnya. Namun, lemah akan ketidakberdayaannya jika terjadi sesuatu kepada Mama nya.

"Apapun yang terjadi nanti, Zean mohon sama Mama untuk tetep kuat." ucap Zean melirih. Perkataan itu keluar begitu saja dari mulutnya.

"Kamu bicara apa sih, nak? Mama tidak mengerti." sela Calista terkekeh kecil guna mengabaikan lontaran Zean barusan.

Siapa yang tahu jika kekehan Calista menyimpan banyak luka dan rasa sakit. Ibu mana yang tidak hancur hatinya atau bahkan dunianya ketika ia mengetahui anak semata wayangnya menderita penyakit mematikan.

"Zean harus percaya sama Tuhan."

Zean tersenyum getir, "Zean udah percaya, Ma. Tapi Tuhan yang buat Zean sakit, kan?"

"Hei lihat Mama," Calista mengarahkan wajah Zean agar menatapnya, "Kehendak Tuhan itu selalu baik sayang. Dia tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hamba-nya."

"Buktinya Zean sakit parah. Umur Zean gak bakal lama lagi. Zean udah gak punya kemampuan apa-apa lagi." runtuh sudah pertahanan Zean. Untuk pertama kalinya cowok itu menangis dihadapan Calista, memperlihatkan kelemahannya dan rasa sakit yang telah ia derita dalam setahun ini.

"Zean tidak boleh bicara seperti itu! Zean pasti sembuh. Kalau Zean tidak percaya sama Tuhan, setidaknya Zean percaya sama Mama ya, nak."

"Anak Mama pasti sembuh! Tidak ada siapapun yang bisa nyakitin kamu. Tidak ada siapapun yang bisa ambil kamu dari Mama, sekalipun itu Kehendak Tuhan. Mama rela menukar tubuh bahkan nyawa Mama buat Zean..." Calista menumpahkan air matanya sambil memeluk Zean erat, seakan jika ia melepaskan pelukannya maka Zean akan pergi.

"Zean tidak boleh pergi ninggalin Mama..."

Dari balik pintu ruangan Zean, Keysha berdiri mematung mencengkeram gagang pintu yang belum sempat ia buka.

Garis Takdir [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang