10. Sabtu malam ✔️

60 9 1
                                    

“Oh, pantes aja sekarang pulangnya nggak mau dijemput sama Ayah atau Bunda. Jadi udah punya taksi pribadi, ya?”

  Baru kaki jenjangnya menginjak lantai teras, Karel harus dibuat bingung oleh cetusan seorang pria baya yang tengah duduk di sebuah kursi seraya memainkan tab ditangannya.

“A-ayah? Tumben udah pulang?”

“Iya, dong. Kalau kerjaan Ayah udah beres ya harus cepat pulang, ngapain lama-lama ditempat kerja?”

  Karel hanya menyengir lucu. Ayahnya benar-benar pekerja keras, siang malam ia banting tulang. Ia itu kawan setianya matahari;

  Bersama terbitnya sang Surya, ia berangkat untuk bekerja. Tak ada sedikitpun keluhan atau rintihan yang terdengar dari bibir keringnya, tak sekalipun ia mengerang harus berangkat pagi buta, menahan rasa kantuk karena tidur yang begitu larut, karena harus begadang mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang menuntut.

  Bersama terbenamnya sang baskara, ia pulang masih dengan senyuman yang mengembang di wajah berkerutnya; menyembunyikan penat dan lelah dari keluarga kecilnya. Baginya, istri dan anaknya adalah pengisi daya manual tubuhnya, satu langkah saja kakinya menginjak teras rumah; semua beban tuntuttan pekerjannya tiba-tiba menghilang, api semangat dalam dirinya kembali berkobar.

“Karel, dianterin pulang sama siapa?” ujarnya masih penasaran, tapi tunggu sebentar, sepertinya ia pernah melihat sedan merah itu sebelumnya?

“Kak Gitta,” seolah dapat membaca pikiran Ayahnya, Karel menjawab dengan cepat.

“Oh iya,” pekik Rully mulai teringat akan gadis yang beberapa hari lalu sempat datang ke rumahnya bersama adiknya yang sudah memukuli putranya itu.

“Lha, kenapa nggak diajak masuk, Rel?”

“Tsk,” Karel mencebikkan mulutnya, “Males, ah,” cetusnya dengan raut tak ramah.

“Kok gitu?” Sang Ayah mengeryit, “Lagi marahan, ya?” lanjutnya tiba-tiba.

  Kini giliran dahi Karel yang berkerut, “Maksudnya?”

“Karel, cewek itu emang gampang kebawa perasaan, susana hatinya cepat berubah-ubah. Nah, kalo Mereka lagi berada di siklus ngambek, untuk mengembalikan moodnya, Karel harus membujuknya.”

“Ha?”

  Tidak sesuai yang diharapkan, putra semata wayangnya itu semakin mengeryit kebingungan. Sungguh, satu katapun yang dilontarkan Ayahnya; tak ada yang bisa otak Karel proses. Ia benar-benar tidak paham.

  Rully tersenyum getir. Nampaknya putra semata wayangnya itu belum sampai pada fase menyukai lawan jenisnya. Sayang sekali, padahal dulu; saat seusia Karel, ia sudah mengencani banyak wanita di sekolahnya. Jangan salah, playboy sekolah adalah julukannya.

“Yasudah, Karel masuk dulu aja, ganti pakaian lalu makan. Nanti ngobrol lagi sama Ayah,” titahnya.

“Umm, Ayah, gimana kalo kita jalan-jalan sore ke Taman Kota?” Sebuah ide baru saja terlintas di benaknya. Jarang sekali Ayahnya sudah santai di rumah saat jam segini. Jadi, Karel pikir akan seru jika sore ini mereka menghabiskan waktu bersama diluar.

“Setuju,” Kapan terakhir kali mereka jalan-jalan sore di Taman Kota? Ah, sepertinya satu bulan yang lalu. Jadi saat putra kesayangannya mengatakan hal itu, tentu saja ia akan langsung setuju.

“Yasudah, Karel mandi dulu, ya?” Remaja tanggung itu segera mengambil langkah besar untuk memasuki istana kecilnya.


🍭🍭🍭


“Yaahhh... Telat,”

  Karel menyeka sisa peluh di keningnya. Kedua sudut bibirnya melengkung ke bawah, wajahnya pun sudah memanas; bak kepiting rebus di nampan, ia menatap nanar pintu gerbang yang sudah digembok dari dalam.

COTTON CANDY (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang