07. Berawal dari Dare ✔️

42 11 2
                                    

“B-bunda...”

  Namun, saat baru ditengah lawang pintu, langkah wanita baya itu terhenti tatkala mendengar suara lirihan dibelakang sana.

  Suara yang ia nanti itu terdengar begitu lemah. Hingga saat ia membalikkan tubuhnya, berdirilah seorang remaja tanggung basah kuyup, kedua tangannya ia silangkan didepan dadanya, menunjukkan betapa kedinginannya ia sehingga memeluk dirinya sendiri.

“Karel?”

“Sayang... Kenapa hujan-hujanan, sih?”

“Kenapa Handphone kamu nggak aktif? Kamu kan bisa telepon Bunda buat jemput kamu, nak.”

  Wanita baya itu menatap nanar putranya yang mengigil kedinginan. Bibirnya nampak pucat, gigi-giginya menggertak.

“Karel?” Sang Bunda menajamkan tatapannya, ia menatap horor tatkala tersadar jika wajah mulus putra kesayangannya itu terdapat luka lebam keunguan.

“Ini kenapa?” sahutnya lagi menunjuk sudut bibir putranya yang sedikit sobek kemerahan dan sedikit keunguan. Sudut mata kanannya pun sama, pelipisnya juga terlihat lecet.

“Ini kenapa?” Tanya Bundanya lagi dengan nada yang lebih menuntut.

“Umm, i-ini, Ka-karel... Ja-jatuh, Bun.”

  Karel tidak pandai berbohong. Bundanya pun pasti akan tahu saat putranya itu berkata jujur atau sebaliknya. Tapi, Karel tidak mau mengatakan yang sebenarnya terjadi pada Bundanya itu. Ia takut Bundanya akan khawatir.

  Sang Bunda hanya terdiam. Untuk beberapa saat ia mengalihkan pandangannya dari wajah putranya itu. Ia tahu Karel berbohong, mana mungkin anaknya itu terjatuh, bekas lukanya jelas terlihat jika ia habis dipukul sesuatu.

  Menghela nafas pelan. Meredam emosinya yang kini tengah meluap, wanita baya itu kembali melembutkan tatapannya. Ia tidak ingin membuat putranya semakin takut. Sisy berniat untuk membicarakan luka Karel nanti saja dengan Ayahnya.

“Yasudah, Karel ayo masuk. Nanti Bunda buatin cokelat panas, ya?”

🍭🍭🍭


  BRAK!

  Kedua insan yang tengah bercumbu diatas sofa itu terperanjat mendengar dentuman keras dari sebuah pintu yang ditutup dengan kasar. Karena kegaduhan yang dibuat seseorang itu, pagutan bibir keduanya terpaksa harus dilepaskan.

“Gitta!”

  Gitta – si oknum tersebut hanya menunjukkan seringainnya. Menatap miris Ibunya yang masih duduk di sofa dengan seorang pria.

“Lain kali kalo mau gituan itu di kamar, gila!” desisnya sebelum mengambil langkah, gadis cantik itu menaiki anak tangga untuk menuju kamarnya.

  Wanita dan pria baya itu terdiam ditempatnya. Mereka membenahi pakaian atasnya yang sudah berantakan. Hentakan kaki Gitta menggema di ruang tengah hunian tersebut, nampak banyak amarah dari sisa-sisa langkahnya.

“Sebentar,” ujar wanita baya itu pada pria disampingnya.

“Sebaiknya aku pulang saja,” ujar pria yang hampir berusia setengah abad tersebut. Ia mengambil jasnya di sandaran sofa, lalu berlalu pergi dari sana. Situasinya sedang tidak memungkinkan untuk mereka melanjutkan aktivitasnya, lagipula ia sudah tidak bergairah lagi.

....

“Fucking bitch!”

  Sesampainya di kamar, Gitta tak hentinya menggerutu. Ia merasa sial pulang-pulang ke rumah harus di suguhi adegan sialan itu. Moodnya hancur seketika, sisa-sisa tawa bahagia dengan temannya di tongkrongan itu hilang entah kemana.

COTTON CANDY (On Going)Where stories live. Discover now