09. PEJE ✔️

51 10 4
                                    

"Saya minta maaf, Om, Tante."

"Terutama pada Karel, saya salah."

"Sekali lagi maaf."

Karel mengerjap berkali-kali, pupil matanya membesar, mulutnya ternganga. Tak percaya tapi nyata, Brian benar-benar datang ke rumahnya; ia meminta maaf padanya dan juga orang tuanya. Ia mengaku menyesal karena telah memukulinya.

Kini, mereka semua tengah duduk di ruang tamu rumah Karel. Karel duduk ditengah-tengah, dihapit Bunda dan Ayahnya. Sedangkan Brian duduk bersama Gitta di sofa yang lainnya.

Brian melirik sekilas kakaknya itu. Dari tatapannya ia nampak ingin memakan kakaknya hidup-hidup. Gitta hanya menunjukkan senyuman jenakanya. Bisa Brian tebak, kakaknya itu pasti merasa menang karena telah membuatnya mengikuti perintahnya.

Andai saja Gitta tidak mengancamnya akan menahan motor kesayangannya, ia tidak sudi harus minta maaf pada bocah itu. Lagipula, Brian bisa minta maaf nanti saat di sekolah saja, tapi Gitta malah mengajaknya untuk meminta maaf langsung di depan orang tuanya. Padahal kan Brian memukuli anak itu karena di suruh Jovan.

"Kamu tahu, saya tidak suka anak-anak seperti kalian. Masih kecil, tapi sudah bertindak seperti seorang kriminal. Aksi kalian itu sangat berbahaya, bully-an kalian itu bukan hanya meninggalkan jejak luka secara fisik, namun psikis juga."

"Lagipula apa yang perlu dibanggakan dengan mem-bully, hah? Apa kalian akan terlihat keren? Jagoan? Tidak! Dimata saya, kalian tidak lebih dari calon perusak bangsa. Negara ini tidak butuh calon penerus bangsa seperti kalian, negara ini tidak akan maju mempunyai kaula muda-mudi tukang bully."

Rasanya kuping Brian sangat panas sekali, seperti ada asap yang keluar dari sana. Ayahnya Karel itu benar-benar menasihatinya. Pembahasannya begitu berat. Sesekali Brian melirik jam yang melingkari pergelangan tangannya; gila! Ini sudah hampir dua jam Ayah Karel menasihatinya.

"Karel udah maafin Brian, kok," anak itu mengatakannya dengan senyuman yang mengembang di wajahnya. Nampak ada banyak ketulusan di mata bulatnya.

"Makasih," Brian menatap Karel sekilas. Ia kembali menundukkan pandangannya. Ia sungguh tak tahan dengan tatapan polos Karel, rasanya ia ingin memukul kepalanya lagi. Dasar kekanak-kanakan, Karel sudah 16 tahun, tapi tingkahnya tak jauh berbeda dengan anak usia 6 tahun.

"Yasudah. Kali ini saya maafin kamu, saya sangat mengapresiasi niat kamu itu sampai datang langsung ke rumah ini. Tapi janji ya, jangan diulangi lagi?"

"I-iya Om."

"Makasih banyak ya, udah maafin Brian. Maaf sekali lagi, kami janji nggak akan ngulangi hal itu lagi," sahut Gitta.

"Kalau begitu, kami pamit dulu, Om, Tante."

Brian memekik tertahan. Ini yang ia tunggu keluar dari mulut kakaknya itu. Ia ingin cepat sampai di rumah, lalu mencekik kakaknya.

"Eh, jangan pulang dulu. Bunda udah masak banyak, kita makan malam bersama, yu?"

Brian melirik Gitta was-was. Apalagi saat melihat wajah kakaknya itu malah tersenyum semakin lebar setelah mendengar ajakan Bundanya Karel.

"Boleh tante."

Dan sudah Brian tebak, Gitta tidak mungkin menolak ajakan itu. Sepertinya Brian harus menurunkan kembali lengannya. Jika nanti mereka sudah sampai di rumah, jangan lupa ingatkan Brian untuk mencekik kakaknya.

🍭🍭🍭


Karel masih ragu untuk masuk sekolah lagi. Remaja tanggung itu masih trauma akan kejadian tempo hari, ia masih takut jika bertemu dengan anak-anak nakal itu lagi. Walaupun Brian sudah minta maaf, rasanya itu tidak akan menjamin keselamatannya dari Jovan dan geng-nya. Jovan pasti masih menaruh dendam terhadapnya.

COTTON CANDY (On Going)Où les histoires vivent. Découvrez maintenant