juu-san

42 7 0
                                    

"Eh serius???"

Gue mengangguk tenang dengan tangan yang bergerak ngebuka bungkus plastik roti. Bina yang mulutnya masih sibuk ngunyah kebab, berseru heboh.

"Gue gak nyangka perkembangan kalian udah sejauh ini, Lin. Gue kira lo bakal selamanya jadi pengagum rahasia, hiks. Terharu," katanya drama sembari ngelap air mata khayalan di pipi.

Gue ketawa. "Gue juga gak nyangka bisa seakrab ini sama Hokuto. Sebenernya malah di awal gue kira dia bakal ilfeel, karena gue gak nutup-nutupin antusiasme gue tiap bareng dia. Mungkin karena hobi kita sama kali ya, jadi dia betah di deket gue."

"Lin, lo gak ngeh dia ada tujuan lain apa? Gak mungkin kan dia gabut aja nganter lo balik terus padahal gak searah?"

Gue yang baru aja nyuap roti jadi noleh pelan dengan dramatis. Sambil ngunyah perlahan, gue nyaut, "Dia suka sama gue, ya, Bin? Berarti gue bisa tembak dia?"

"Ya kejauhan, anjir!" Bina gregetan, ngedorong pelipis gue dengan telunjuknya. "Wajar kalo geer tapi ya jangan main asal tembak aja, gegabah namanya!"

Gue mencuatkan bibir. Ngangguk-ngangguk aja sambil masih ngunyah roti.

Untungnya bangku di taman sekolah ini selalu sepi pengunjung, gue dan Bina pun udah terbiasa ngabisin waktu istirahat di sini, menjadikan bangku taman ini seolah basecamp kami. Suasananya enak, adem. Kalo makan di kelas, meja gue bisa kotor. Sedangkan kalo di kantin, rame dan sumpek. Makanya tempat ini tuh favorit banget buat gue.

"Btw Lin," panggil Bina, gue melirik. "Emang lo mau pacaran sama Hokuto?"

Alis gue terangkat. "Kalo dia suka juga sama gue ... ya, kenapa enggak?" jawab gue lurus. "Kalo dia gak suka, ya gue gak bakal maksain juga. Jadi temennya pun udah cukup."

"Nah, lo tau jadi temennya aja udah cukup. Kenapa ngambil resiko buat nembak?" Bina natap gue dengan wajah yang tumben-tumbennya serius. "Kalo ditolak, pertemanan kalian bakal renggang. Kalo diterima, kalian pacaran, terus ... suatu saat putus?"

"Kalo putus ya berarti udah jalannya, Bin." Gue menjawab ringan. "Apapun hasilnya nanti, gue harus bisa terima, karena udah jalannya kayak gitu. Daripada sibuk nyeselin ini itu, lebih baik fokus ke masa kini dan masa depan aja. Kalo suatu saat gue harus move on dari Hokuto, gue pasti bisa. Move on itu emang susah, tapi nggak mustahil."

"Hm...." Bina mengangguk kecil atas jawaban gue. "Gue gak nyangka bulol kayak lo bisa ngomong gitu."

Gue ketawa. "Elo sih, tiba-tiba pasang muka ngajakin deeptalk."

"Hehe, sebenernya gue juga lagi mikirin soal-" Ucapan Bina menggantung di udara. Mata cewek itu melebar kemudian mengerjap beberapa kali ke arah lab bahasa yang terletak sekitar 25 meter dari tempat kami sekarang. "Lin, Lin! Itu Hokuto bukan?" tanyanya heboh sambil nunjuk kecil--berusaha gak keliatan lagi nunjuk secara terang-terangan.

Gue menoleh ke arah yang dia maksud. Mata gue menyipit sesaat sebelum akhirnya memberi anggukan konfirmasi.

"Njir itu sama cewek? Siapa?" tanyanya menggebu, melihat seorang cewek mungil yang lagi hadap-hadapan sama Hokuto. Mereka keliatan ngobrol santai.

"Dari rambutnya sih, kayaknya Nana," jawab gue gak seratus persen yakin. "Temen ekskulnya Hokuto, anak IPA. Pas kelas sepuluh mereka jadi tim dan juara di olimpiade bahasa. Seinget gue sih gitu."

"Deket dong?!" Bina mengguncang lengan gue dengan histeris. "Lin, lo tau banyak tapi santai amat?! Ntar kesalip loh!"

"Ya selama mereka gak pacaran gue gak ngerasa ada yang perlu dikhawatirin?" sahut gue sembari mencoba menenangkan Bina. "Kalo mereka pacaran, berarti gue harus mundur."

"Pasrah amat...." Bina berdecak.

"Sebucin-bucinnya, gue masih tau takaran kok, Bin. Santai aja," kata gue sebelum memakan suapan terakhir roti di tangan.

"Ekskul apa sih tu berdua?" tanya Bina, matanya menatap tajam ke arah dua orang yang masih ngobrol di koridor depan lab.

"Cerdas cermat," jawab gue enteng. "Kayaknya mereka bakal ikut lomba lagi, makanya ketemuan. Soalnya gue udah lama gak liat mereka bareng. Ah, sebenernya semenjak sekelas gue udah gak pernah nge-stalk Hokuto lagi sih, hehe."

"Lin, lo gak mau nyoba gabung ekskul itu aja?"

"Hm?" Kepala gue ditolehkan refleks. "Gue? Gabung?"

Bina mengangguk. "Lagian lo kan mayan pinter. Terus lo juga gak ada ekskul, kan? Buat mantau aja, Lin. Siapa yang tau kalo mereka ternyata backstreet?"

Gue mengerjap. "Emang sepenting itu, ya?" tanya gue setelah merenung beberapa saat.

"Lo penasaran, gak?"

Ditanya kayak gitu, gue bingung harus jawab apa. "...Penasaran? Ya, tapi ... gak bener aja rasanya masuk ke ekskul cuma karena gebetan kayak gitu."

"Apa salahnya?" Bina menyahut ringan.

"Enggak, deh. Jangan." Gue menggeleng beberapa kali, mulai membereskan sampah plastik bekas makan gue. "Lagian gue gak bisa masuk kategori pinter. Gue cuma unggul di pelajaran bahasa, lemah di MTK. Jadi mending, gak usah."

Gue berdiri kemudian bergegas berjalan menuju tempat sampah. Dalam hati merutuk karena sempet tergiur sama sarannya Bina. Gue menggeleng lagi, berusaha meyakinkan diri.

Rasa suka ini, gak boleh sampe berubah jadi obsesi.







Rasa suka ini, gak boleh sampe berubah jadi obsesi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.








A/n

Hiyaaaaaaa hokunana squad mana suaranyaaaa

Kalo aku sih tim kyomohoku //digaplok

24/7 【松村北斗】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang