[10] Crossed The Line

6.6K 696 29
                                    

⚠️🔞⚠

「 "So you mean I've made a stupid decision?" 」

BERTEPATAN dengan aku menutup pintu rumah, Ibu keluar dari kamarnya. Aku sempat melihat pakaian super mini yang dikenakannya sebelum ditutupi coat tebal panjang hingga selutut. Stocking hitam membungkus kaki jenjangnya yang sudah berbalut high heels yang kuyakini baru saja dibeli.

Di usianya yang sudah menginjak kepala empat, wajahnya begitu awet muda sampai aku berani bertaruh tidak akan ada yang percaya kalau ia bahkan sudah memiliki putri dewasa yaitu aku.

Ibu begitu merawat diri, begitu cantik, dan sangat wangi. Ingin sekali saja aku merasa dipeluk olehnya dan menghirup harumnya supaya rinduku sedikit terobati.

"Ibu sudah mau pergi?" sapaku pada akhirnya setelah ia melengos begitu saja menuju pintu. "Aku ingin mengajak Ibu makan malam. Bisakah Ibu menetap sebentar?"

"Makan saja sendiri."

Balasan dingin menyusul bantingan itu menghentak batinku sebelum mulai berdenyut nyeri.

Tapi aku masih bersikeras mengejarnya. Hanya demi memberi dua susu kotak kesukaan Ibu yang sengaja kubeli. Berharap kali ini saja, Ibu mau menerima pemberian dariku.

"Ibu—"

Aku tercekat melihat Ibu masuk ke dalam gang. Mengapa Ibu harus ke sana? Itu tempat yang berbahaya!

"Ibu, jangan ke sana!" teriakku sembari berlari ke arahnya.

Tapi aku terlambat.

Menyaksikan Ibu ditangkap oleh sosok bertubuh tinggi, berteriak meminta tolong sebelum lenyap begitu saja bersama wujudnya seakan ditelan oleh kegelapan.

"IBU!!"

Aku menjerit histeris. Cengkeraman kuat segera menjerat tanganku yang hendak menyusul Ibu yang sudah menghilang dan aku tercekat begitu menengok ke belakang.

Mendapati pria berambut merah itu yang menahanku, menatapku dengan sorot tajamnya seakan memeringatiku. Atau justru mengancamku.

...

"Ibu!"

Aku membelalak kaget. Mendapati langit-langit yang sudah terasa akrab sehingga aku segera mendesah panjang lalu menghirup udara sebanyak mungkin.

Hanya mimpi.

Tapi aku sampai berkeringat bersama jantung berdebar cepat. Ketakutan yang belum mereda ini membuatku segera meraih ponselku di nakas, mencari kontak Ibu lalu menunggu nada sambung dengan penuh gelisah.

Aku mulai menggigit bibir kuat lantaran panggilanku tidak kunjung terjawab. Mencoba menghubunginya sekali lagi dan napasku semakin putus-putus karena menahan cemas menggelegak.

"Halo."

"Ibu. Ibu di mana? Ibu tidak apa-apa?"

"Siapa—aish, apa kau tidak lihat pukul berapa ini?! Ini jam tiga pagi!!"

"A-aku hanya ingin mendengar suara Ibu. Syukurlah kalau Ibu baik-baik saja. Maaf, Ibu boleh kembali tidur."

"Benar-benar mengganggu!"

Panggilan terputus begitu saja. Tapi itu membuatku bernapas lega sekarang. Setidaknya, Ibu sedang tidur dengan nyenyak dan tidak terjadi apa-apa padanya.

The Red Hair ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang