"Re, tolong bantu siapkan pemakaman di dekat makam ibu-ku,"

Reihan mengangguk.

"Besok pagi, Re. Besok pagi-pagi sekali kita akan memakamkan anakku. Oh, jangan beritahu siapapun soal putraku yang tidak selamat. Sampai ada hasil dari lab. Tolong aturkan agar istriku bisa istirahat sampai hasil test DNA keluar,"

"Arsen, keluargamu bagaimana?"

"Aku akan melarang mereka datang sampai besok,"

Arsen keluar untuk menghubungi kakak tertuanya. Meminta sang kakak menyampaikan kalau mereka boleh datang besok malam. Arsen mendudukan diri di kursi tunggu.

"Maafkan papa, nak. Papa bahkan tidak bisa menyelamatkan kamu, anak papa sendiri," Gumam Arsen.

Arsen menopang kepalanya dengan kedua tangannya. Arsen menenangkan diri sejenak disana sebelum berdiri dan kembali masuk ke dalam. Naira sudah dirapikan dan Alika membantu Naira mengganti pakaian. Ingatkan Arsen untuk berterima kasih pada Alika. Bayinya tengah di gendong oleh Reihan. Arsen mengambil bayinya dan menggendongnya.

"Baby. Kalau baby marah sama papa karna papa pernah melalaikan tugas papa mencarikan baby makanan, papa minta maaf. Papa juga minta maaf, papa pernah membentak mama dan baby kaget di dalam perut mama. Baby, bangun, sayang. Baby tidak mau melihat bagaimana cantiknya mama? Baby tidak mau melihat bagaimana bagusnya kamar baby di rumah? Bangun sayang, papa mau baby bangun dan tinggal dengan papa juga mama,"

Arsen masih menaruh harapan kalau putranya akan menangis. Nihil. Semua hanya sebatas harapan saja. Putranya sudah pucat dan tidak mungkin bangun. Arsen mengantar putranya sampai ke ruangan yang nyaris tidak pernah Arsen injak selama dia menjadi dokter. Arsen tidak pernah menyangka dia harus menginjak ruangan itu untuk mengantar putranya sendiri.

"Baby... Ah tidak... Papa belum menamaimu, ya. Rio Qenan Kenneth Dimitra. Putra kesayangan papa. Jagoan papa dan mama," Bisik Arsen di telingan putranya.

Arsen menulis nama putranya di gelang bayi dan memakaikan gelang itu di tangan sang putra. Arsen mencium sekali lagi kening putranya.

"Qenan. Papa dan mama sayang sekali pada Qenan.  Qenan, kalau anak yang tadi sempat papa gendong adalah sepupu Qenan. Boleh ya, papa bawa dia ke rumah?"

Arsen menggeleng kecil.

"Besok papa kesini lagi ya Qenan," Ujar Arsen.

Arsen berjalan keluar bersama Reihan. Reihan juga sempat melihat nama yang Arsen berikan untuk putranya. Sekarang tugas Reihan adalah menyiapkan semua yang diperlukan untuk pemakaman anak Arsen. Reihan dan Arsen berjalan keluar untuk ke kamar rawat. Langkah kaki mereka terhenti lantaran para pria Dimitra ada disana. Reihan melirik ke arah Arsen dan melihat sahabatnya itu menghembuskan napasnya dengan berat.

"Pergilah ke taman di atas. Kalian bisa lebih leluasa berbincang disana," Saran Reihan.

"Untuk anak itu, biar aku dan Alika yang menjaganya  tanpa campur tangan orang lain sampai setidaknya besok saat hasil test keluar," Sambung Reihan.

Arsen mengangguk. Dia juga sempat mengucapkan terima kasih pada Reihan sebelum Reihan meninggalkannya dan dia melanjutkan langkahnya mendekati ayah juga kedua kakaknya.

"Habis darimana?" Tanya Alvaro.

"Bisa kita ke taman atas?" Tanya Arsen.

Alvaro, Ardan, dan Arman tahu ada sesuatu yang tidak beres. Mereka bertiga menurut dan pergi bersama Arsen ke taman di rooftop rumah sakit. Arsen duduk di kursi taman.

"Dek..." Panggil Alvaro.

Arsen menatap ayahnya. Alvaro tahu putranya butuh sandaran untuk sejenak. Alvaro menghampiri putranya dan berdiri di depan sang putra. Tangan Alvaro mengusap puncak kepala Arsen. Saat itu juga tangisan Arsen pecah. Sangat memilukan. Bahkan Ardan dan Arman merasakan sesak yang lebih kuat dari sebelum mereka datang ke rumah sakit. Iya. Alasan kenapa mereka bertiga ada di hadapan Arsen sekarang karena, Ardan dan Arman merasakan sesak secara tiba-tiba. Lalu, tak lama setelah itu Arsen menghubungi Ardan. Membuat Ardan menyadari sesuatu sudah terjadi.

"Ada apa, dek? Berbagilah pada kami. Kami keluargamu," Ujar Alvaro.

"Putra Arsen, pi...." Ujar Arsen di sela tangisannya.

"Putra Arsen..." Arsen tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

Butuh waktu cukup lama bagi Arsen untuk lebih tenang. Saat Arsen sudah lebih tenang, Alvaro duduk di kursi yang Ardan ambilkan untuknya. Alvaro duduk di depan Arsen dan menangkup kedua tangan Arsen dengan tangannya.

"Ceritakan pada papi dengan perlahan. Papi mendengarkan,"

Arsen menceritakan semuanya. Sejak awal mimpinya sampai kejadian beberapa menit lalu yang masih tidak bisa dia terima. Alvaro, Ardan, dan Arman terkejut mendengar kabar putra Arsen yang tidak berhasil menyapa dunia.

"Lalu, nanti bagaimana kamu menjelaskan pada Naira?" Tanya Alvaro.

"Ada seorang anak yang lahir kemarin malam. Ibunya tidak selamat. Anak itu mirip dengan kak Xeon. Garis wajahnya, bentuk hidung dan warna rambut. Semuanya mirip dengan kak Xeon. Arsen sedang melakulan test DNA kak Xeon dengan anak itu. Hasilnya baru akan keluar besok malam,"

"Maksud kamu?"

"Kalau anak itu anak kak Xeon, Arsen akan membawanya pada Naira besok. Qenan akan digantikan dengan dia di rumah kita besok. Kak Xeon tidak akan menerima anak itu. Jadi, biar Arsen yang merawat dan membesarkan anak itu seperti anak Arsen sendiri. Tapi, kalau anak itu bukan anak kak Xeon, Arsen terpaksa harus memberitahu Naira tentang Qenan,"

"Dek... Kamu tahu kan resikonya besar kalau kamu mengambil anak itu dan membawanya pulang,"

"Arsen tidak punya pilihan, pi. Arsen tidak mau Naira menyalahkan dirinya. Naira bisa sakit, pi. Arsen tidak mau kehilangan Naira setelah kehilangan Qenan,"

"Kalau misal anak itu anak Xeon dan nanti suatu saat Xeon tahu itu anaknya lalu dia meminta anak itu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Arsen akan pikirkan itu nanti,"

"Kamu sudah yakin dengan keputusan kamu ini?" Tanya Alvaro.

"Yakin. Arsen sangat yakin,"





Pinggiran JakBar, Feb 12th 2022

[DS #3] Save Me Hurt MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang