Anak kecil polos dengan bola mata berbinar itu tampak berpikir sebelum akhirnya Rama lah yang membuka suara, "Udah sama aku aja. Kak Sel pulang kerja jam berapa?"

"Jam empat aku pulang dari kampus langsung kerja. Paling jam delapan aku udah di rumah."

Rama menggangguk paham, "Yaudah, kita berangkat dulu, Kak."

"Okee ati-ati jangan ngebut ya, Ram," ucapnya setelah kedua adiknya itu mengecup punggung tangan mulus milik Rasel.

Mata Rasel menatap nanar dua laki-laki yang kini menempati posisi terpenting dalam hidupnya. Ya, adik-adiknya. Dua manusia yang selama ini membuatnya masih sanggup bertahan menjalani kehidupan kelam.

Setelah Rasel pikir lebih dalam, kalau nanti dirinya tiada, bagaimana nasib kedua adiknya? Bagaimana hidup mereka? Bagaimana pendidikan mereka?

Semenjak keluarganya hancur, ialah menjadi tulang punggung dan bertanggung jawab atas mereka. Dari pekerjaan yang tidak bisa dibilang bersih, Rasel sangat mampu mencukupi kebutuhan dirinya beserta adik-adiknya.

Bahkan untuk hidup glamor di kota dengan rutinitas mabuk saat suntuk pun Rasel sanggup.

Namun, setelah lembaran baru itu ia buka, tentu saja penghasilnnya tidak sebesar dulu. Semoga saja adik-adiknya tidak merasa berat dengan adaptasinya kali ini.

Buru-buru Rasel menggelengkan kepalanya, "Udah ih, Rasel, udah ayo semangat! Cepet lulus cepet cari kerjaan tetap!" Ucapnya menyemangati diri sendiri dari depan cermin.

Setibanya di kampus, gengnya sudah menyambut kedatangan seorang Rasel. Mereka selalu membiarkan satu bangku kosong bila Rasel belum tiba tepat waktu.

"Assalamu'alaikum, selamat pagi, Pak Rafi," Salam Rasel karena entah mengapa Rafi sudah berada di kelas padahal belum waktunya mata kuliah dimulai. Bodohnya ia datang terlambat hari ini.

"Hem, ya waalaikumussalam." Jawab Rafi yang mendapat tatapan sengit dari Rasel.

Sok cool sekali? Situ Pak Bara?

Sebab hanya Pak Bara yang dihalalkan untuk bertindak kejam dan dingin. Dosen satu itu luput dari kebencian mahasiswinya meskipun kelakuannya menyebalkan karena tampangnya yang rupawan.

Tapi, tentu saja berbeda di mata mahasiswa. Bagi mereka, Bara adalah momok yang menyebalkan.

"Oke nilai sudah saya input, bisa diliat masing-masing ujian kemaren dapet berapa ya," Tutur Rafi. "Yang bagus jangan tinggi hati, yang jelek ya mau gimana lagi?"

Mata Rasel berhasil dibuat melotot saat melihat nilai di matakuliah ini. Yang benar saja?

Nilainya 3.5/10!

"Kenawhy Neng Rasel mau protes kamu shay?" Tanya Rafi dengam gaya andalannya.

Dengan kesal Rasel berjalan menghampiri dosennya itu sembari membawa hasil ujiannya, "Pak, kok saya dapet tiga?"

Rafi mengerutkan kening sebelum ia mengambil hasil nilai Rasel, "Ya kamu ngisi jawabannya amburadul, Neng! Nggak lengkap!" Ucap Rafi pada Rasel.

"Nggak lengkap gimananya, Pak? Ini nomer satu, dua, tiga. Semuanya saya isi kok nggak ada yang kosong." Protes Rasel dengan pelototan matanya ia mendekat, "Pak Rafi jangan mode on ala Pak Bara ya!" Ancamnya.

"Astoge, Neng, nomer lima enemnya mana coba?"

Rasel meneliti terlebih dahulu sebelu menemukan nomor yang diminta Rafi, "Nih, lima enem ada semua lengkap."

"Heh?" Rafi membulatkan matanya dan mendekatkan lembaran tersebut. "Ini bukan huruf G? Nyambung sama jawaban sebelumnya ini mah, Neng!"

Tentu saja, sang empu yang sudah bekerja maksimal menyelesaikan tugas Pak Rafi tidak terima. Jelas-jelas itu nomor 6 bukan angka sembilan.

Bayi Dosenku 2Where stories live. Discover now