Tidak Satu Tenda?!

947 165 39
                                    

"Apa-apaan ini! Kenapa gue beda tenda sama Gempa?!" pekik Halilintar tidak terima.

Dia memegang selembar kertas yang berisikan nama peserta yang akan menjadi teman setendanya selama perkemahan berlangsung. Dia menatap nanar kertas itu saat tahu nama Gempa tidak tercantum di sana. Hanya ada nama Taufan dan Solar ditambah dengan beberapa peserta lainnya.

Lagi-lagi Taufan harus menelan ludah melihat kemarahan Halilintar. Kenapa sih dia selalu dihadapkan dengan sisi maung ganas dari sahabatnya itu? Bisakah sekali saja dia melihat Halilintar dalam mode malaikat?

Hahaha, gue pernah lihat dia kayak malaikat dan gue kira dia kerasukan setan, batin Taufan dalam hati.

Di sisi lain, Solar tidak ambil pusing dengan pembagian kelompok itu. Selagi dirinya tidak diganggu maka dia tidak masalah. Namun, satu hal yang sangat menggangu Solar saat ini.

"Bangke! Sinyal di sini nggak ada, cok! Gimana gue bisa live coba?!" gerutunya. Belum lagi dia sedang berjibaku dengan pasukan nyamuk yang langsung menyerang kulit putih mulusnya itu. Ah, ingin sekali Solar melenyapkan seluruh spesies nyamuk yang ada di dunia ini.

Halilintar hanya bisa merobek kertas itu kesal. Padahal dia sudah punya banyak rencana yang bisa dilakukan bersama Gempa selama perkemahan berlangsung. Ini kemah pertama untuk Gempa, dan Halilintar tidak ingin mengecewakan adik kecilnya itu. Dia membuka tas nya, mengambil beberapa barang kebutuhan milik Gempa. Mulutnya sejak tadi mengeluarkan berbagai macam makian yang dia lontarkan kepada para panitia yang berani-beraninya memisahkan tenda miliknya dengan Gempa.

"Sial! Kenapa tendanya jauh banget sih?!" gerutunya.

Taufan yang melihat itu hanya bisa tersenyum miris. Apakah sahabatnya ini sudah gila? Yang satu sibuk sama ponsel dan nyamuk, dan yang satu sedang mendumel tidak jelas. Taufan ingin resign saja. Tapi, dajjal di circle mereka jadi hilang, dong?

Oke, Taufan tidak jadi resign. Taufan tidak akan pernah memberikan jabatan teman ter-dajjal miliknya ke sembarangan orang. Tidak akan pernah.

"Mau kemana lo? Tenda belum berdiri dan lo mau pergi? Jangan harap," ujar Taufan. Dia melihat Halilintar yang akan pergi dengan beberapa barang di tangannya.

"Tenda Gempa," jawab Halilintar. Dia tidak menoleh bahkan tidak menggubris larangan tidak langsung dari Taufan. Halilintar tidak akan menurut dengan siapapun kecuali dengan orang tua dan Gempa tentunya.

"Hali! Hei! Jangan pergi tinggalkan daku sendiri di sini!" teriak Taufan dramatis. Dia terjatuh, bersimpuh di atas tanah itu. Mengangkat tangannya seakan ingin menggapai Halilintar.

"Guys, lihatlah seonggok manusia satu ini. Dia telah kehilangan belahan jiwanya," monolog Solar. Dia memutar otak bagaimana caranya agar dia tetap bisa mengabadikan momen absurd sahabatnya itu--dia memutuskan untuk merekam dengan handycam yang dibawa olehnya.

"Solar, ajak mereka untuk mendirikan tenda. Gue nggak bakalan lama," ujar Halilintar. Dia berjalan--meninggalkan Taufan yang kini sudah menangis terseduh-seduh.

"Kau tega, Mas! It's my dream, Mas! My dream!" teriak Taufan.

"Guys, kewarasannya semakin menipis!" pekik Solar.

Sedangkan dua orang peserta lainnya hanya bisa menjadi saksi bahwa para siswa kebanggaan sekolah punya keboborokan diluar batas. Mereka hanya bisa mengelus dada.

Sabar.

|《¤》|

"Duh, ini gimana masangnya sih?!"

Berulang kali Blaze menggerutu. Tenda mereka sejak tadi belum juga terpasang. Ingin sekali dia minta bantuan kepada kelompok lain, hanya saja dia malu. Di sisi lain Gempa juga tidak terlalu banyak membantu. Jangan lupakan bahwa ini adalah kali pertama dia mengikuti perkemahan dan otomatis dia juga tidak bisa membantu.

"Maaf ya, Aze. Gem nggak bisa bantuin," ujarnya. Dia jadi tidak enak dengan Blaze yang sejak tadi bekerja sendirian. Kelompok mereka berisikan Blaze, Ice, Gempa dan juga Sori. Namun, Ice dan Sori dengan pergi bersama Thorn yang sepertinya menjadi panitia dadakan karena kekurangan panitia.

"Nggak masalah, Gempa. Ini kemah pertama lo, 'kan? Santai saja," ucap Blaze. Dia menunjukkan cengiran khas darinya--menampilkan deretan gigi putih miliknya.

Gempa menggeleng tidak enak, "apa perlu Gem minta bantuan bang Lintar? Setidaknya ada yang bisa membantumu Aze."

"Nggak perlu. Tenda mereka juga jauh dari sini, Gem. Gue takut lo malah nyasar. Jujur, gue nggak mau ambil resiko di kemah pertamamu ini. Jadi duduk manis saja di situ, dan liat hebatnya seorang Blaze untuk mendirikan tenda!"

Blaze tersenyum bangga--menatap Gempa seolah menyakinkan Gempa bahwa semua akan baik-baik saja. Gempa akhirnya mengangguk, namun dia tidak mau duduk saja. Setidaknya dia harus membantu Blaze. Walaupun dia tidak berguna.

"Gem bantu pegangin saja, ya? Setidaknya Aze nggak berusaha sendirian," ujarnya. Dia memegang ujung tali itu, membantu Blaze jika dia membutuhkan bantuan.

Waktu demi waktu terlewati, matahari yang awalnya berada di atas kepala kini sudah mulai berpindah ke arah barat. Namun, tenda mereka masih belum tampak akan berdiri. Blaze dan Gempa menyerah. Sepertinya mereka akan mengungsi saja ke tenda milik Halilintar, atau bisa saja mereka mengungsi ke tempat para panitia dengan Gempa sebagai kunci pegangan.

"Adek?"

Gempa menoleh, mendapati Halilintar dengan barang bawaan di kedua tangannya. Pemuda itu berjalan mendekatinya. Tanpa ekspresi, seperti biasa.

"Bang Lintar? Kenapa ke sini? Kan jauh," ujar Gempa. Dia membuka tutup botol minum miliknya, berjalan mendekati Halilintar dan memberikan botol itu kepadanya.

"Terima kasih," ucap Halilintar. Dia meneguk air itu. Dia sedikit kelelahan untuk mencapai tenda milik adiknya itu.

"Ini barang titipan Bunda untukmu. Dan jangan lupa dengan jaketmu, Gempa. Suhu di sini semakin dingin," kata Halilintar sembari memberikan beberapa barang titipan Mara itu. Dia melihat sekitar, tenda milik Gempa belum juga berdiri walaupun sudah hampir gelap.

"Tenda Adek kenapa belum berdiri?"

Gempa menunduk. Dia merasa tidak berguna sekali di sini. Seharusnya dia bisa membantu Blaze untuk mendirikan tenda mereka.

Di sisi lain, Halilintar langsung paham bahwa Gempa tidak bisa mendirikan tenda itu. Mungkin Blaze bisa, namun kesulitan karena harus bekerja sendiri.

"Jangan sedih. Biar Abang bantu," ucap Halilintar. Dia mengusak pelan rambut adiknya itu. Setelahnya, Halilintar melangkahkan kakinya mendekati Blaze yang tergeletak bagai ikan asin yang sedang dijemur.

"Sebaiknya lo bangun kalau mau gue bantu," ucap Halilintar. Nada bicaranya sama sekali tidak bersahabat. Berbanding terbalik jika bicara dengan Gempa. Dasar pilih kasih.

"E-eh? Bang Hali?!" pekik Blaze.

"Gue bukan setan. Jangan sok terkejut. Berdiri atau gue seret lo."

Blaze langsung berdiri dari posisinya. Membiarkan Halilintar sedikit merakit simpul dengan pasak agar tenda milik kelompok Gempa terpasang. Blaze dan Gempa juga ikut membantu, sekaligus memperhatikan bagaimana Halilintar merakit tenda itu. Mungkin akan berguna nantinya.

Selang beberapa menit berlalu, tenda itu akhirnya berdiri dengan kokoh. Blaze tersenyum haru. Menatap tenda yang sudah digelutinya sejak siang bolong akhirnya berdiri juga.

"Akhirnya!" pekik Blaze. "Makasih banyak bang Hali! Kalau nggak ada Abang, mungkin gue sama Gempa bakalan terlantar."

Halilintar mengangguk kecil. Pandangannya beralih kepada Gempa yang tersenyum menatapnya. Halilintar tersenyum kecil, rasa kesalnya dengan pembagian kelompok itu sedikit memudar kala melihat Gempa tersenyum. Rasa lelahnya dengan perjalanan jauh dari posisi tenda miliknya ke tempat ini akhirnya terbayar.

Namun, ada sesuatu yang mengganggunya. Kenapa firasatnya jadi buruk?[]

╔ 《To be continued》 ╝

Childish | ✔Where stories live. Discover now