Perjalanan Panjang

911 161 13
                                    

Hutan nan hijau terhampar luas selama perjalanan. Sudah berjam-jam mereka lewati, namun belum ada tanda-tanda bahwa mereka akan tiba di tempat perkemahan berlangsung. Sebenarnya hanya peserta perkemahan yang belum tiba di sana. Para panitia telah berangkat terlebih dahulu sebelum jadwal keberangkatan peserta lainnya guna mempersiapkan beberapa hal.

Blaze hanya bisa bersabar kala bahu miliknya terasa kebas karena terlalu lama menahan beban kepala milik Ice. Ingin sekali dia menggeser kepala kembarannya itu sebentar saja guna menghilangkan sedikit saja rasa kebas yang dideritanya.

Dibelakangnya, Thorn tampak terkekeh pelan dengan Sori. Mereka berdua tampak menahan tawa dengan nasib Blaze yang sejak tadi menggerutu tidak jelas. Jangan lupakan Sori yang dengan senang hati mengabadikan momen itu dengan memvideokan Blaze dengan Ice.

Taufan sejak tadi hanya memainankan game yang ada di ponselnya. Sejujurnya, dia ingin mengajak oknum disebelahnya itu untuk berbicara. Namun, tampaknya hal itu tidak mungkin dilakukan olehnya. Oknum disebelahnya ini tampak tidak bersahabat. Entahlah, dia sudah biasa dengan perangainya, namun kali ini sikap Halilintar terlalu suram, menurutnya.

Sedangkan Halilintar sendiri lebih memilih menyumpalkan telinganya dengan sebuah airpods miliknya untuk mendengarkan playlist lagu kesukaannya. Dia berusaha sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menghantam wajah menyebalkan milik Solar yang sejak tadi tiada hentinya melakukan live streaming dengan menggunakan Gempa sebagai bahan pembicaraannya.

Belum lagi para fans-nya yang entah kenapa hampir berkumpul semua di dalam bus yang sama dengan Halilintar. Oh ayolah, di dalam bus ini diisi oleh para gadis yang sejak tadi berteriak ataupun bergumam tidak jelas dengan Halilintar sebagai topik pembicaraan.

Ck! Menyebalkan,” ketus Halilintar.

Dia memejamkan kedua matanya. Berusaha menetralisir segala emosi yang menumpuk di dalam dirinya. Dia menaikkan volume musik miliknya—mengabaikan fakta bahwa Gempa mendengar semua gerutuan yang dikeluarkan oleh Halilintar. Dia tertawa kecil.

Lucu sekali

“Gempa, jika kau lelah, kau bisa tidur di bahu Abang. Sepertinya perjalanannya masih jauh,” ucap Solar. Dia mengusak pelan rambut Gempa. Dia tersenyum kecil, “padahal kau manis sekali. Kenapa kau harus memiliki saudara seperti Halilintar yang tidak berekspresi.”

Gempa kembali tertawa. Dia juga bingung kenapa Halilintar memiliki dua sifat yang berbeda. Halilintar yang selalu soft dengan dirinya, dan Halilintar yang terlalu dingin untuk kebanyakan orang.

“Bang Lintar sebenarnya tidak sedatar itu. Bagaimana, ya? Seperti tidak bisa mengekspresikan diri. Dia hanya takut dimanfaatkan oleh orang lain. Itu sebabnya dia seperti itu untuk menilai orang disekitarnya. Bang Lintar itu sebenarnya pribadi yang perhatian, bahkan sangat perhatian.”

Solar terkejut dengan penggambaran Halilintar dari sudut pandang Gempa. Dia yakin bahwa Halilintar tidak pernah menunjukkan sedikit saja perhatiannya kepada Gempa. Ah, pernah sekali dan dirinya menganggap Halilintar sedang kerasukan arwah penasaran.

“Kau serius, Gem? Seorang Halilintar seperti itu?” tanya Solar tidak percaya.

Gempa mengangguk. Dia tersenyum, “dia yang terbaik. Dan akan selamanya seperti itu,” jawab Gempa. Dia menyenderkan kepalanya di bahu Solar. Menutup kedua matanya sembari tersenyum kecil.

Satu hal yang tidak Gempa tahu bahwa telinga Halilintar kini memerah karena mendengarkan cerita kecil Gempa tentang dirinya. Dia tersenyum kecil, beruntung bahwa dia sedikit menurunkan volume musiknya di saat yang tepat. Dan beruntungnya, dia mampu menahan diri agar tidak berteriak saking gemasnya dengan Gempa.

Bus itu tetap bergerak membela hutan pinus yang membentang luas . Semakin naik semakin turun pula suhu udara disekitarnya. Dan tentu saja tubuh Gempa langsung bereaksi karena perubahan suhu itu. Dia menggemgam erat kedua tangannya--menjaga suhu tubuhnya tetap normal.

"Gem? Kau kedinginan?" tanya Solar. Dia yakin tubuh Gempa sedikit gemetaran.

Gempa tidak menjawab. Dia sudah tidur sejak tadi. Tapi tubuhnya tidak bisa berbohong jika dirinya kedinginan.

Baru saja Solar ingin memberikan syal yang dipakainya, Halilintar terlebih dulu berdiri--membuka jaket yang dipakainya lalu menyelimuti badan mungil Gempa. Dia mengusap pelan kepala adiknya itu. Berusaha menenangkannya. Dan itu berhasil. Gempa perlahan bernapas dengan normal. Tubuhnya tidak gemetaran lagi.

"Panggil gue kalau ada sesuatu tentang Gempa," ujar Halilintar kepada Solar. Dia kembali duduk di kursinya. Memasang kembali airpods-nya dan larut dalam musik yang diputarnya.

Di sisi lain, Solar benar-benar tidak habis pikir dengan sikap Halilintar. Dia tidak salah lihat, 'kan? Itu benar-benar Halilintar, 'kan?

Dia melirik sedikit ke arah Gempa. Dia melihat wajah menggemaskan itu larut dalam buaian mimpinya. Dia bisa melihat bagaimana dengan mudahnya Halilintar menenangkan Gempa hanya dengan usapan kecil semata dan bagaimana Halilintar melepas jaketnya hanya untuk dijadikan selimut untuk Gempa.

Padahal Solar sudah hampir tidak percaya dengan perkataan Gempa barusan!

Dia melirik ke belakang. Ada Taufan yang tertidur dengan kondisi mulut terbuka. Jangan lupakan air liurnya yang mulai mengalir di sudut bibirnya itu. Halilintar juga sudah menutup kedua matanya, bergumam sedikit menikmati lagunya.

Mungkin setan di dalam tubuhnya belum hilang sepenuhnya, batin Solar.

|《¤》|

"Gue nggak mau! Ini rencana gila! Tidak masalah jika hanya ingin mengerjainya. Tapi melenyapkannya? Tidak! Gue nggak mua ikut!” pekik Gopal.

Sedangkan oknum yang diajak bicara oleh Gopal hanya tersenyum miring. Dia menatap hasil karyanya.

"Bukankah memang ini rencana awal kita?" tanya pemuda itu.

"Gue nggak percaya lo benar-benar ingin nyingkirin dia," ucap Gopal tak percaya. Dia hanya mengira ucapan temannya itu hanya gertakan semata.

Pemuda itu menatap tebing terjal di depannya. Dia sudah menyiapkan sedikit jebakan yang bisa menyebabkan kecelakaan. Meminimalisir kemungkinan dirinya menjadi tersangka jika para peserta kemah melihatnya bersama dengan Gempa. Semuanya murni kecelakaan.

"Gue nggak pernah main-main sama ucapan gue," ucapnya. Dia tertawa kecil, kemudian tersenyum tipis. Sebentar lagi apa yang diharapkannya akan terwujud. Balas dendamnya akan tercapai.

"Gue yakin kalau ini bukan masalah ketua OSIS saja. Apa yang lo sembunyiin?" tanya Gopal curiga.

Pemuda itu lagi-lagi hanya tersenyum. Dia tidak menjawabnya, namun apa yang dikatakan Gopal memang benar adanya. Ini bukan masalah ketua OSIS--masalah yang berbeda.

"Lo nggak perlu tahu apa alasan gue. Yang jelas, lo nggak bakalan bisa mundur. Nasib lo ada ditangan gue, Pal. Lo tinggal pilih," ucap pemuda itu. Dia berbalik, meninggalkan Gopal yang masih terdiam di sana.

"Sudahlah, nggak bakalan ada yang curiga dengan kita. Lo percaya saja," ujar gadis itu.

Gopal tersenyum miris, "gue emang bejat sering bully adek tingkat, tapi bukan berarti gue punya hak buat ngambil nyawa mereka, Ying."

Ying hanya bisa diam. Dia juga tidak bisa mundur sekarang. Dia sudah ikut campur terlalu jauh. Dia awalnya mengira bahwa mereka hanya mengerjai Gempa sampai memilih keluar dari sekolah. Namun, semuanya melenceng jauh. Semuanya sudah diluar rencana.[]

╔ 《To be continued》 ╝

Childish | ✔Where stories live. Discover now