Baby Mode!

2.1K 263 78
                                    

"Adek~"

Halilintar mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Matanya memindai sekeliling untuk mencari keberadaan Gempa. Kepalanya terasa begitu sakit sekarang.

"Adek~"

Panggil Halilintar sekali lagi. Namun tidak ada respon. Seingat Halilintar, dia tertidur di sofa saat memeluk Gempa. Namun, saat ini dia berada di kamarnya sekarang. Siapa yang memindahkannya?

Gempa?

Tidak mungkin.

"Loh? Anak Ayah sudah bangun?"

Halilintar menegang seketika. Anak Ayah? Tunggu?! Sejak kapan Ayahnya pulang? Lalu dimana Gempa? Oh tidak! Pasti Amato menyembunyikan Gempa untuk dirinya sendiri! Tidak bisa dibiarkan!

"Ayah sembunyikan dimana Gempa?"

"Oh itu, Ayah sudah mengurus semua surat untuk Gempa. Gempa akan tinggal bersama Ayah tentunya," Amato tertawa sinis kepada Halilintar. Dia sangat senang untuk mengganggu sang sulung keluarga Aldebaran itu.

"Gempa sudah pergi ke bandara tadi pagi. Dia juga titip salam kepadamu, Lintar."

Halilintar yang sedang tidak sehat itu hanya bisa menunduk pasrah. Dulu memang pernah ada wacana bahwa Gempa akan tinggal bersama dengan Ayah dan Bundanya. Tentu saja Halilintar menolaknya. Seluruh alasan dikeluarkan oleh Halilintar agar Gempa tidak pergi darinya bahkan sampai alasan tidak logis seperti 'nanti pawang Abang kalau marah nggak ada lagi. Jadi Adek nggak boleh tinggalin Abang!'

"K-kenapa nggak b-bilang sama Lintar dulu?"

Halilintar yang pikirannya tidak fokus karena sakit pun percaya saja apa yang dikatakan oleh Amato karena Halilintar tahu bahwa apa yang dikatakan Amato akan selalu terjadi. Itu sebabnya saat Amato berkata seperti itu padanya, dia langsung tertunduk lesuh terlebih dulu Amato memang benar-benar ingin membawa Gempa bersamanya.

"Eh? Anak Bunda kenapa nangis?!"

Mara yang baru masuk sembari membawakan nampan berisikan bubur dan obat untuk Halilintar kini buru-buru meletakkan nampan itu di atas nakas.

"Abang kenapa? Apanya yang sakit?" pekik Mara panik.

Halilintar yang melihat Mara datang pun langsung memeluk Mara erat. Halilintar benar-benar menangis sekarang.

"Bun~ adek dimana? Adek nggak pergi tinggalin Abang, kan? Adek nggak ikut sama Ayah, kan? Adek dimana, Bun?"

Mara menghela napas. Pasti Amato berkata yang tidak-tidak kepada Halilintar. Terbukti kini Amato memalingkan wajahnya sembari bersiul-siul seolah tidak tahu apa-apa.

"Adek ada kok, Abang. Adek nggak kemana-mana. Sudah ya," bujuk Mara sembari mengelus pelan punggung Halilintar.

"Abang mau adek, Bun~ Abang mau adek~"

"Iyaiya, nanti Bunda panggil Adek kesini ya."

"Mau Adek, Bun~"

"Makan dulu, baru minum obatnya. Habis itu ketemu Adek, setuju?"

Halilintar menggelengkan kepalanya. Dia tidak selera makan. Dia harus memastikan bahwa Gempa benar-benar tidak pergi darinya.

"Bubur itu buatan Adek, loh. Kalau Abang nggak mau, nanti Bunda beneran suruh Ayah bawa Adek pergi."

"J-jangan, Bun. Abang mau sama Adek!"

"Sudah, Bunda. Lintar tidak mau. Berarti Gempa memang akan ikut dengan kita berdua."

"Bun~" Halilintar merengek. Dia benar-benar tidak mau Gempa pergi bersama Amato.

"Jangan dengarkan kata Ayahmu itu, Abang. Adek bakalan selalu sama Abang, tenang saja."

Mara melepaskan pelukannya. Wajah Halilintar tampak memerah. Mara heran kenapa banyak orang yang takut dengan Halilintar. Padahal anaknya itu sangat menggemaskan, terlebih jika sedang sakit. Mara mengambil sesendok bubur itu, dia berterimakasih kepada sang bungsu karena masih sempat membuatkan bubur untuk Halilintar.

Halilintar menerima suapan demi suapan bubur itu dan menelannya susah payah sembari berharap bubur itu dikeluarkan lagi dari mulutnya. Beruntung bubur yang dibawakan oleh Mara tidak banyak sehingga Mara tidak harus repot membujuk Halilintar untuk memghabiskan bubur itu. Setelah itu, Mara memberikan obat penurun panas untuk Halilintar.

"Istirahat lagi ya," kata Mara.

"Adek. Adek dimana, Bun?"

"Kata Adek, Abang harus benar-benar sembuh dulu baru Adek mau ketemu sama Abang."

"T-tapi--"

"Makin cepat sembuh, makin cepat Abang ketemu sama Adek. Jadi istirahat ya?"

Halilintar mengangguk, dia kembali berbaring di kasurnya itu, membiarkan marah menyelimutinya sampai sebatas dada.

"Jangan cepat sembuh ya, Lintar. Ayah kan ingin berduaan juga sama Gempa," goda Amato.

"Bunda~"

"Ayah! Jangan gitu!"

Amato tertawa keras. Dia mendekati Halilintar yang berbaring di kasurnya. Senyuman kecil terlukis di wajah Amato.

"Kamu sudah membuat Ayah sangat khawatir karena mendengar kabar kalau kamu sakit, Lintar. Jika kamu tidak sembuh dengan cepat, maka Ayah akan membawa Gempa bersama Ayah. Bagaimana kamu bisa melindungi Gempa jika kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri?"

Amato berjongkok di pinggir kasur milik Halilintar. Tangannya mengusak pelan rambut Halilintar--kegiatan yang selalu dilakukan olehnya jika Halilintar jatuh sakit.

"Ayah, jangan bawah Gempa," lirih Halilintar. Suaranya begitu pelan tapi masih mampu didengar oleh Amato dan Mara.

"Cepat sembuh dan Ayah nggak akan bawa Gempa pergi."

Amato mengecup pelan kening Halilintar yang cukup panas itu. Disisi lain Mara tersenyum dengan interaksi antara Amato dan Halilintar. Walaupun Halilintar selalu menyatakan perang kepada Amato demi Gempa, Halilintar juga tidak mungkin jauh dari sosok Ayahnya itu.

"Ayah, temani Abang bentar ya. Bunda mau buatin makan siang untuk Ayah."

Amato mengangguk, tangannya masih setia mengusak pelan rambut Halilintar. Mara mengambil nampan itu, mengecup pelan kening Halilintar lalu pergi meninggalkan mereka berdua.

Deru napas Halilintar perlahan mulai teratur menandakan dia sudah tertidur. Amato berdiri, berjalan dengan pelan menjauhi Halilintar. Dia membuka sedikit jendela kamar itu agar udara di kamar itu berganti. Dia pun akhirnya menyusul Mara di dapur. Hm, berduaan dengan istrinya mungkin tidak buruk.

"Sayang, nggak ada rencana buat dedek bayi? Kan gemes~"

Amato datang dan langsung memeluk Mara erat. Mengabaikan Mara yang menahan malu dan emosi saat Amato dengan santainya ingin membuat seorang dedek bayi lagi.

"Ayah! Lepas! Bunda mau masak!"

Bukannya melepaskan, Amato malah semakin mempererat pelukannya.

"Selagi nggak ada yang ganggu, Bun. Ayah juga mau manja-manja sama Bunda."

"Nggak anak, nggak bapak, sama aja manja banget!"

Akhirnya Mara hanya membiarkan Amato memeluknya dari belakang.

Adek~ cepat pulang! Bunda nggak sanggup lagi!

Dasar tidak tahu umur![]

╔ 《To be continued》 ╝

Childish | ✔Where stories live. Discover now