Rooftop Sekolah

1.1K 185 73
                                    

Sudah pukul setengah 6 sekarang. Sang surya sudah bergerak meninggalkan singgasana-nya. Semburat jingga mulai terlihat di barat sana. Gempa baru saja keluar dari sekolah. Meninggalkan berkas-berkas yang mengusiknya beberapa hari terakhir.

Dia berjalan melewati lorong yang sepi itu. Tidak ada yang berlalu lalang di sini. Wajar saja, hari ini tidak ada jadwal ekstrakulikuler apapun. Kalau pun saja ada, hanya kemungkinan kecil mereka bisa berpapasan dengan dirinya.

Gempa sampai di luar gedung sekolahnya. Selain badannya yang lelah, pikirannya juga terbebani oleh aktivitasnya. Ujian, tugas, proposal, rapat, semuanya datang satu per satu. Kalau boleh jujur, Gempa juga butuh istirahat. Dia sangat lelah sekarang.

Sebuah motor di tempat parkir itu menarik perhatian Gempa. Bukan karena bentuknya, hanya saja Gempa kenal dengan pemilik motor berwarna merah ruby itu. Motor milik Halilintar.

"Bang Lintar belum pulang?" monolognya.

Gempa memindai sekitar. Tidak ada orang. Tidak ada Halilintar. Tidak ada siapapun di sini. Gempa mengeluarkan ponselnya. Mengecek sesuatu. Dia tidak sadar banyak notikafikasi yang masuk di ponsel pintarnya itu. Sejak tadi dia memakai mode silent.

Bang Lintar 🐯
Rooftop

Gempa menghela napas. Halilintar menunggunya sejak tadi. Astaga, kenapa Halilintar itu keras kepala sekali? Bayangkan saja sudah seberapa lama dia menunggu di sana.

Dia berlari kecil. Kembali menyusuri koridor sepi itu. Menuju anak tangga dan mulai menaikinya satu per satu. Gempa pastikan kakinya akan mati rasa jika dia sudah sampai di rooftop sekolahnya itu.

Keringat mulai menitik di keningnya. Menyekanya sebentar, Gempa kembali berlari. Perasaannya berkecamuk sedari tadi. Pasti Halilintar belum makan. Dia merasa bersalah sekarang.

Sedikit lagi, dia sampai di lantai terakhir gedung itu. Dia berhenti sejenak, mengatur napasnya yang memburu karena kelelahan. Menyeka keringatnya yang semakin banyak menetes. Menghirup napas sebanyak-banyaknya karena napasnya yang terasa begitu sesak sekarang.

Gempa perlahan membuka pintu itu. Sang surya di barat sana sudah hampir sampai di tempatnya. Meninggalkan langit yang kini berwarna jingga yang hampir tampak seperti warna merah. Langitnya tampak cerah. Awan putih itu bergerak perlahan. Di sini sangat indah.

"Kenapa abang belum pulang?" tanya Gempa pelan.

Tidak seharusnya Halilintar pulang telat seperti ini. Meninggalkan jam makan siangnya bahkan menunggu berjam-jam di tempat ini. Halilintar baru saja sembuh. Dia bisa saja sakit kembali jika seperti ini.

"Menunggumu," jawab Halilintar. Dia tidak menoleh. Dia hanya fokus dengan apa yang ada di depannya sekarang. Gempa tahu kesukaan Halilintar. Dia suka menghabiskan waktu untuk melihat matahari itu terbenam. Sama seperti Gempa.

"Abang baru saja sembuh, mau sakit lagi? Abang pasti belum makan. Gem sudah bilang untuk pulang duluan, 'kan?"

Halilintar tidak menjawabnya. Memang benar, sebelum berangkat sekolah tadi, Mara sudah mengingatkannya untuk jangan pulang telat karena Halilintar yang baru sembuh. Itu sebabnya Gempa memberikan pesan agar Halilintar pulang saja duluan karena dia masih ada rapat OSIS hari ini.

Tapi, Halilintar yang dasarnya tidak suka jika rencana yang sudah dirancang olehnya gagal malah memilih untuk menunggu Gempa pulang. Dia tidak peduli jika dia sakit kembali, dia hanya ingin menghabiskan waktunya dengan Gempa. Halilintar benar-benar tidak rela jika Gempa harus dimonopoli kembali oleh Amato.

Langkah kaki Gempa mulai terdengar. Dia berjalan perlahan mendekati Halilintar. Dia cukup yakin bahwa Halilintar sedang merajuk kepadanya. Sifat Halilintar sudah sangat melekat di ingatan Gempa.

"Maaf," cicit Gempa.

Dia memeluk tubuh tegap Halilintar. Dia merasakan tubuh itu sedikit menegang, lalu berikutnya kembali rileks seperti biasanya. Dia menyembunyikan wajahnya di punggung Halilintar. Sedikit iri karena dia bisa merasakan bentuk perut Halilintar yang jauh dari miliknya. Sangat iri dengan tinggu badan Halilintar yang sangat jauh darinya. Gempa hanya setinggi bahu Halilintar, bahkan tidak sampai.

"Jangan marah lagi. Hanya sampai event akhir tahun. Gem akan serah terima jabatan," gumam Gempa.

Gempa juga lelah, Gempa juga ingin lepas. Hanya saja, dia tidak bisa mengabaikan tugasnya sekarang. Dia masih seorang ketua OSIS. Dia masih bertanggung jawab.

Halilintar tetap diam. Dia tidak menjawabnya. Dia melepaskan tangan Gempa yang masih melingkar di perutnya dengan perlahan. Dia berbalik, tersenyum tipis. Sangat-sangat tipis.

"Lupakan saja. Ayo pulang, Bunda mencarimu."

Tidak, bukan Gempa yang dicari Mara. Tapi Halilintar. Dia mengabaikan pesan dan panggilannya yang diterimanya dari Mara. Mengabaikan perutnya yang sudah yang terasa nyeri karena terlalu lama menahan lapar.

Gempa menggeleng.

"Cari makan dulu. Gem yakin Abang pasti belum makan," kata Gempa.

"Langsung pulang saja. Nanti dimarah sama Bunda," tolak Halilintar.

Gempa menghela napas, pasti Halilintar takut bertemu dengan Mara sekarang. Gempa mendapat pesan dari Mara bahwa Halilintar belum pulang saat dirinya sedang berlari menuju rooftop sekolahnya itu. Sekeras kepala apapun Halilintar, dia tidak akan bisa melawan jika Mara sudah menyampaikan ceramah dan pesan-pesan kecil lainnya.

"A-abang nggak mau makan b-bareng Gem lagi?" cicit Gempa. Dia menunduk. Memandangi sepatunya.

Halilintar gelagapan. Dia tidak bermaksud menolak permintaan Gempa. Tapi jujur, dia sedikit takut dimarahi oleh Bundanya itu. Terlebih Ayahnya pasti menyudutkan Halilintar nanti. Bisa rusak image Halilintar.

"B-bukan seperti itu. Baiklah, kita makan dulu. Tempat biasanya, ya?" bujuk Halilintar.

Gempa mengangkat kepalanya. Tersenyum kecil. Dia bangga dengan kemampuan acting-nya. Menatap Halilintar sejenak, memastikan bahwa Halilintar tidak berbohong.

"B-beneran?" tanya Gempa.

Halilintar mengangguk. Niat awalnya yang ingin merajuk kepada Gempa menjadi sirna seketika. Mungkin dia saja yang terlalu cemburu dengan apapun yang merebut waktu Gempa untuknya. Sesayang itu Halilintar kepada Gempa.

"Iya. Abang gendong mau?"

Gempa mengerjapkan matanya. Seketika wajahnya sedikit memerah. Dia sudah besar. Dia malu jika harus digendong seperti anak kecil. Walaupun dia ingin.

"E-eh?! Tidak!"

Halilintar tidak menggubrisnya. Dia memindahkan posisi ranselnya menjadi di depan dada. Dia berjongkok di depan Gempa--siap untuk menggendong beruang kecilnya itu.

"Gem m-malu," cicit Gempa.

"Naiklah. Abang nggak bakalan berdiri kalau adek nggak mau naik," kata Halilintar. Sengaja dia memakai panggilan 'adek' untuk memanggil Gempa. Panggilan yang selalu dipakainya agar Gempa tidak menolak permintaan Halilintar.

Gempa memilih mengalah. Dia mendekati Halilintar. Melingkarkan kedua tangannya di leher Halilintar. Menyembunyikan wajahnya di ceruk leher saudaranya itu.

Halilintar tersenyum. Mengapit kedua paha Gempa agar tidak terjatuh. Rasa cemburunya perlahan menghilang. Mungkin seharusnya Halilintar tidak terlalu posesif dengan Gempa sekarang. Mereka sudah sama-sama besar sekarang. Halilintar harus bisa melepaskan Gempa sedikit demi sedikit.

"Tetap sama Abang, ya. Apapun yang terjadi. Jangan tinggalin Abang," kata Halilintar.

Gempa hanya diam. Dia tidak ingin bicara lagi. Dia hanya bisa mengeratkan pelukannya. Seperti tidak ada hari esok lagi.[]

╔ 《To be continued》 ╝

Childish | ✔Where stories live. Discover now