Dimarahi Bunda

1.1K 168 23
                                    

Motor milik Halilintar itu sudah memasuki pekarangan rumahnya. Hari sudah gelap, sang surya sudah berganti tugas dengan rembulan. Sudah pukul 8 malam--sangat terlambat untuk seorang siswa pulang dari sekolah.

Gempa sudah turun dari motor milik Halilintar. Meninggalkan Halilintar sendiri setelah meminta izin kepadanya. Berakhir dengan Halilintar yang kini memasukkan motor miliknya ke dalam garasi. Jangan tanya kondisi Halilintar sekarang, jantungnya berdebar begitu kencang--sangat tidak stabil.

Memang dia senang karena akhirnya dia bisa menghabiskan waktu dengan Gempa, hanya saja menghadapi kanjeng ratu yang sedang berada dirumahnya membuat nyali Halilintar menciut seketika. Ingin rasanya dia pergi dulu beberapa saat agar tidak bertemu dengan sosok itu. Hanya saja, mungkin dia akan menerima masalah lainnya.

Dengan langkah lesuh, Halilintar memasuki rumah. Berdoa dalam hati agar dirinya tidak dimarahi oleh sang Bunda karena pulang telat. Matanya memindai sekitar--tidak ada kehadiran Mara di sini. Dia menghela napas, sedikit lega karena tidak ada oknum yang akan memarahinya.

"Bagus. Pulang telat, nggak ada salam juga. Lanjutkan ya, Bang. Lanjutkan."

Halilintar terdiam seketika. Niat awalnya yang ingin menaiki tangga itu pun seketika berhenti. Dia seolah berubah menjadi patung batu sehingga tidak mampu menggerakkan bahkan untuk berkedip sekalipun.

"Darimana saja, Abang? Kenapa pesan dan panggilan dari Bunda tidak ada yang terjawab satupun sejak jam 2 siang? Bunda mau dengar alasan yang logis," sinis Mara yang sudah menyilangkan tangannya di depan dada. Menatap tajam Halilintar yang akhirnya berbalik badan menatapnya.

"B-bunda?"

"Apa Bunda-Bunda?! Jawab pertanyaan Bunda tadi! Jangan basa-basi!"

Halilintar kembali meneguk ludah kasar. Tangannya menggemgam erat helm miliknya itu. Dia tidak berani menatap Mara sekarang. Sangat menyeramkan, batin Halilintar.

"N-nungguin Adek p-pulang Bunda," cicit Halilintar.

"Adek sudah izin pulang telat sama Bunda karena ada rapat OSIS. Kenapa harus ditunggu? Adek bisa dijemput Ayah kalau Adek sudah pulang!"

Abang nggak mau Adek bareng Ayah, Bunda! Abang nggak ikhlas!

"T-tapi Abang, 'kan, nggak kemana-mana, Bun. T-tadi Adek m-maksa Abang makan dulu. J-jadi telat pulang," jawab Halilintar.

"Abang nyalahin Adek?" tanya Gempa tidak percaya. Gempa baru saja turun dari kamarnya--dibelakangnya ada Amato yang mengekori sang bungsu. Mengawasi agar tidak terjadi sesuatu dengan Gempa.

Halilintar makin kelabakan. Dia sungguh tidak bermaksud untuk menyalahkan Gempa. Tidak sedikitpun dia memikirkan hal itu. Hanya saja, Halilintar cuma mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Gempa memang memaksanya untuk makan terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah.

"B-bukan gitu. A-abang nggak maks--"

"Ayah~ Abang jahat! Adek disalahin sama Abang~" adu Gempa. Dia menubruk Amato yang berdiri dibelakangnya--memeluknya erat sembari menyembunyikan wajahnya.

"Makanya kalau mau pulang telat itu izin dulu. Mana Adeknya dibawa-bawa lagi. Lagian kamu baru sembuh. Mana kalau sudah sakit rewel banget lagi," cibir Amato. Tangannya dengan telaten mengelus punggung milik Gempa. Berusaha menahan tawa melihat ekspresi Halilintar yang tidak bisa lagi untuk dijelaskan.

"Bun~ jangan marah, dong. Abang, 'kan, baik-baik aja. Lihat," kata Halilintar. Dia berputar ke kanan dan ke kiri berulang-ulang untuk menunjukkan tubuhnya baik-baik saja. Tidak ada luka ataupun hal yang membahayakan--Halilintar baik-baik saja.

"Bunda males sama Abang. Susah banget dibilangi," ketus Mara. Dia berbalik, meninggalkan Halilintar yang kembali terdiam karena tidak percaya bahwa sang Bunda benar-benar memarahinya.

"B-bunda?!"

Halilintar langsung berlari mengejar Bundanya itu. Mengabaikan Amato yang sudah tertawa dibelakang sana. Halilintar tidak peduli. Dia harus membujuk Mara terlebih dahulu.

Adek boleh sama Ayah sekarang, tapi nggak untuk berikutnya!

Mara dan Halilintar akhirnya menghilang di balik tembok yang membatasi ruangan itu.

"Siapa yang ngajarin anak Ayah untuk mengerjai orang seperti itu, hm?"

Amato kini menggoyangkan badan Gempa. Dia sungguh gemas dengan sang bungsu. Dia berjongkok sedikit, mengecup pelan puncak kepala Gempa.

"Bunda yang minta, Ayah. Bunda khawatir karena Abang telat pulang terlebih Abang nggak bisa ditelpon sama Bunda. Itu sebabnya Bunda minta Adek buat ajak bang Lintar makan di luar karena pasti bang Lintar belum makan apa-apa sejak istirahat. Dan ujungnya Bunda pura-pura marah biar bang Lintar nggak ngelakuin hal seperti itu lagi," jawab Gempa jujur.

Gempa menatap Amato sekilas, menatap sosok yang mulai menua itu dengan mata bulat polosnya. "Adek nggak mau bang Lintar sakit lagi, itu sebabnya Adek ngelakuin hal itu."

"Untung Ayah tahu kalau kalian sedang drama saja. Kalau saja tidak, 'kan, bisa kacau. Anak Ayah pandai banget ya buat Lintar kelabakan," kekeh Amato. Dia mengangkat tubuh Gempa--menggendongnya ala koala. Menggoyangkan badan Gempa layaknya seoarang bayi.

"Ayah!!!" pekik Gempa. Dia memeluk erat leher Amato namun tidak sampai mencekiknya.

"Gemes banget deh anak Ayah. Duh, ikut Ayah pulang ke Jepang mau?"

"Mau sama bang Lintar saja. Ke Jepang nanti kalau liburan. Adek nggak mau pisah sama teman-teman Adek."

Amato mengerti itu. Tidak mudah untuk Gempa melepaskan apa yang sudah dimiliknya di sini. Amato tidak akan memaksakan kehendaknya. Gempa berhak memilih apa yang diinginkan olehnya. Sebagai orangtua yang baik, bukankah Amato harus mendukung seluruh keinginan anaknya? Lagipula, Gempa tidak melakukan hal-hal aneh. Tidak ada alasan Amato untuk menolaknya.

"Cium dulu, kalau tidak, Ayah bakalan bawa Adek langsung ke Jepang. Terus nggak bolehin Adek keluar rumah tanpa izin Ayah," ancam Amato.

"Ih! Ayah kok gitu?! Adek aduin ke Bunda!"

Namun, Gempa tetap mencium pipi Ayahnya itu. Mulutnya saja yang mengomel tidak terima, tapi dia sendiri tidak menolak perintah sang Ayah.

"Ayah?"

"Hm?"

"Di sekolah ada acara kemah akhir tahun. Adek boleh ikut, 'kan? Boleh ya, Ayah? Tahun lalu Adek, 'kan nggak boleh ikut. Tahun ini saja Ayah. Adek pengen kemah bareng sama bang Lintar," ucap Gempa.

Amato hanya diam, dia berjalan pelan menuju sofa itu. Duduk di atas sofa tanpa melepaskan gendongannya. Dia tidak mau melepas Gempa.

Tidak mendapat respon dari sang Ayah membuat Gempa merasa sedih. Dia yakin bahwa Amato akan kembali menolak permintaan Gempa untuk ikut kemah akhir tahun yang selalu dilaksanakan oleh sekolah itu.

Gempa tidak berani lagi meminta izin jika Amato sendiri sudah tidak menggubris permintaannya. Dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang Ayah.

"Ayah pikir dulu, ya. Hipotermia Adek bukan masalah sepele. Ayah cuma nggak mau Adek kenapa-napa," jawab Amato. Dia mengelus pelan punggung Gempa--mengecup puncak kepala Gempa.

"Ayah~"

"Shhtt, jangan paksa Ayah," titah Amato mutlak.

Gempa hanya bisa diam. Dia tidak akan berkomentar lagi. Dia tidak mau membuat Amato marah kepadanya. Mungkin Gempa harus rela untuk kembali tidak berpartisipasi dalam kemah itu. Gempa harusnya sadar bahwa fisiknya adalah masalah terberat untuknya.[]

╔ 《To be continued》 ╝

Childish | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang