29 | Eunoia

3K 414 46
                                    

Aku tersenyum puas sambil menatap pantulan diriku di cermin. Sudah dua minggu sejak aku memutuskan mengulurkan jilbabku sampai menutup dada, dan berusaha konsisten memakai rok atau gamis dibandingkan celana. Saat keluar pun juga kuputuskan terus memakai kaus kaki untuk menutup kulitku.

Meski telah memutuskan untuk berpenampilan syar'i, aku belum bisa berubah langsung untuk tidak bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram¹⁴. Kalau kata Bu Devi yang kutemui tiga hari lalu itu, sih, katanya pelan-pelan saja. Bu Devi meskipun sudah ada hampir setahun berpenampilan syar'i, beliau berkata baru empat bulanan ini juga bisa benar-benar tidak bersentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

Tentunya setelah beliau berkomunikasi dengan suami serta keluarga yang akhirnya mendukung keputusan baik Bu Devi tersebut. Selama ini yang kulihat, meski interaksi Bu Devi dan Mas Guruh sangat akrab, mereka tidak pernah melakukan kontak fisik berlebihan--kecuali berjabat tangan saat bertemu--meskipun secara agama mereka sudah bisa dikatakan mahram.

Tak ada sama sekali rasa cemburu dalam hatiku meski melihat hubungan dekat Mas Guruh dan Bu Devi tersebut. Justru aku senang, karena meski ibu tiri, Bu Devi bisa menempatkan diri layaknya ibu kandung untuk Mas Guruh, yang juga menghormati dan menyayangi beliau seperti ibu kandungnya sendiri.

"Mala, masya Allah cantik bener." Mbak Tiara tiba-tiba masuk. Dia sudah siap dengan rambut dikuncir, jaket, dan membawa dua helm. Hari ini aku memang akan merepotkannya untuk mengantarku ke kampus dan membantu persiapan sidang skripsiku.

Mbak Tiara seminggu lalu diangkat sebagai Redaktur di kantor media tempatnya bekerja, yaitu WartaSolo. Sebelumnya, Mbak Tiara yang merupakan lulusan Ilmu Komunikasi UNS tersebut bekerja sebagai reporter selama dua tahun lamanya. Lalu, sebagai hadiah kenaikan jabatan itu, dia mendapatkan kesempatan mengajukan cuti selama tiga hari, terhitung mulai hari ini.

"Doakan aku bisa segera nyusul kamu dapat hidayah untuk pakai jilbab syar'i begitu, ya, Mal." Mbak Tiara duduk di kasurku sambil menatapku dengan bangga. Hm, membuatku kikuk saja.

"Hidayah itu dicari, Mbak. Kata ustazah yang ngisi kajian Ahad kemarin di Masjid Kalitan. Jadi kalau kita enggak nyari, dia juga akan sulit datang."

"Masya Allah." Mbak Tiara tertawa kecil. "Luar biasa sekali calon istri Guruh Hadiwinoto ini."

"Mbak Tiara!" Aku menatapnya dengan kesal, sekaligus tersipu malu. "Belum ada obrolan tentang nikah di antara kami. Mas Guruh cuma datang ke rumah dan ngobrol aja sama Ibu dan Rendy. Bukan buat ngelamar kali, ah!"

Mbak Tiara terbahak-bahak makin kencang. "Jadi, gimana kemarin hasil obrolan mereka, Mal? Keren, ya, sampai dibelain ke Ngawi. Jadi, bener dia cuma berdua sama Mas Ari?"

"Iya, cuma sama Mas Ari." Aku mengambil jas almamater biru mudaku dan memakainya sambil kembali menghadap cermin. "Dan kata Rendy, Ibu sampai nangis saat Mas Guruh bilang semua uang yang dia 'pinjamkan' ke keluargaku untuk modal dan lunasin semua utang itu, bisa pelan-pelan dibayar dengan Rendy yang enggak boleh putus sekolah sampai kuliah kelak. Ibu juga bisa menjalankan usaha laundry sendiri dengan memakai sebagian uang pinjaman itu. Sementara aku nantinya tetep bantu dengan kerja sambilan."

Aku memutar tubuhku dan menatap Mbak Tiara dengan malu-malu, membuat perempuan 25 tahun itu mengerutkan kening. "Dan juga ... dengan mengambil aku dari keluarga untuk masuk ke dalam Hadiwinoto, sekaligus dia ingin jadi kepala keluarga yang bisa diandalkan untukku, Ibu, dan Rendy."

"Hahaha ... itu, kan, sama aja dengan ngelamar, Mala," seloroh Mbak Tiara.

Aku menggeleng sambil mengambil kaus kakiku dan duduk di kursi. "Beda kali, Mbak. Dia ngomong begitu karena minta izin aja, dan alhamdulillah Ibu bersedia. Masalah nikahnya kapan enggak tau juga karena Mas Guruh belum ngomong apa-apa sama aku."

Eunoia [Completed]Where stories live. Discover now