16 | Strange Feeling

2.5K 448 41
                                    

"Ah, anu ... maksud saya ... itu, Mas Guruh, Mas Wira, teman-teman angkatan tiga, dan ...." Aku menggigit bibir bawah saat mengetahui Mbak Andin menatapku dengan ekspresi tak terbaca, maksudku aku sendiri tak mengerti bagaimana ekspresinya itu. Kasihan? Heran? Atau ... miris?

Aku langsung menunduk menatap jemariku yang saling bertaut. Mampus, mampus! Selesai sudah semua, hancur wawancaraku. Kenapa aku harus melamun dan membayangkan hal tidak jelas di tengah wawancara, sehingga menjawab pertanyaan dengan asal seperti itu?

Namun, beberapa detik dalam keheningan antara aku dan Mbak Andin, membuatku bisa berpikir lebih dalam tentang apakah sebenarnya jawaban yang disampaikan ke Mbak Andin tadi benar atau salah, jujur atau tidak. Tentang orang yang paling memotivasiku untuk mendaftar seleksi beasiswa ini maksudnya.

Aku menjawab Mas Guruh, dan aku mengelak. Mengelak pada diriku sendiri, menyangkal bahwa sebenarnya aku tak ingin menjawab itu. Ya, berkali-kali kukatakan bukan Mas Guruh jawabannya. Mencari pembenaran bahwa aku salah menjawab karena melamun dan tidak fokus. Namun, apa memang benar demikian? Benarkah jawaban sesungguhnya bukan Mas Guruh?

Mbak Andin mengambil lemon squash-nya dan menyedot pelan minuman itu, lalu kembali meletakkan gelasnya ke meja dan menatapku lebih intens. Tak ada senyum di wajahnya, dan ekspresinya masih sama. Aku tak mampu menganalisis sebenarnya bagaimana pandangan perempuan itu padaku sekarang ini.

"Maaf, Mbak." Aku memutuskan bersuara terlebih dulu, dengan pelan tentunya. Bahkan, kuyakin seperti tengah berbisik. "Saya salah ucap tadi. Saya tak sadar melamun."

"Kenapa salah ucap?" Ternyata Mbak Andin mendengar perkataan setengah berbisikku. "Maksudku," lanjut Mbak Andin, "kenapa memangnya kalau Mas Guruh adalah orang yang paling membuatmu termotivasi untuk mendaftar seleksi beasiswa ini? Apa menurutmu itu salah, Mala?"

Aku menelan ludah. Iya, ya. Dipikir-pikir di mana juga salahnya? Mas Guruh yang mengenalkanku pada Youngspirit, yang kemudian menjadi rumah keduaku saat ini. Dari Youngspirit aku terbantu menemukan topik skripsi, melakukan penelitian, dan memiliki teman-teman baru yang luar biasa baik.

Mas Guruh juga yang menjadi jembatanku untuk bisa mendapat pekerjaan sambilan sangat nyaman yang pernah kutemui seumur hidup ini, yaitu memberi les privat pada si Kembar yang menyenangkan, dengan gaji fantastis pula. Aku tak perlu repot-repot mencari pekerjaan lain demi bisa mendapatkan gaji besar, dan itu membuatku lebih fokus menyelesaikan skripsi.

Mas Guruh juga yang membuatku tersadar dan menemukan keputusan paling tepat setelah bimbang selama dua hari tentang masalah seleksi beasiswa ini. Dan Mas Guruh juga yang tidak memandangku rendah, menjauh karena malu, atau bagaimana-bagaimana ... meski sudah melihat bagaimana memalukannya aku saat bertengkar dengan Rendy malam itu. Memperlihatkan sisi lainku yang juga bisa menjadi seorang perempuan temperamen, dan tentu saja norak.

Aku menghela napas berat. Menggeleng pelan dan berkata, "Iya, bukan Mas Guruh, tetapi adik saya." Bohong kamu, Mala! Aku terus memaki diriku dalam hati, terus mengatakan aku bohong dan bohong. Karena aku sendiri sadar bahwa Rendy tak mengatakan apa pun padaku selain 'emang Mbak akan betah tinggal di tempat jauh' dan 'yang penting enggak nikah sama bule'.

Mbak Andin akhirnya mengangguk dan tersenyum. Dia meraih lagi lemon squash-nya, dan menyedot minuman itu sampai habis. Sambil mengambil lagi iPad-nya, dia berkata, "You know, Mala? Bahwa kesuksesan itu bisa diraih karena tiga hal." Mbak Andin membuat gerakan tiga jari padaku.

"First, kamu harus mau belajar untuk berkembang lebih baik. Sekalinya malas, kamu akan langsung tereliminasi oleh alam. Termasuk menjalin koneksi, itu salah satu proses belajar bersosialisasi yang baik di alam bebas." Mbak Andin menurunkan jari manisnya.

Eunoia [Completed]Where stories live. Discover now