17 | Denial

2.5K 434 29
                                    

Aku melepas pasmina dan melemparkan benda itu ke kasur Mbak Tiara bersamaan dengan tatapan heran kakak kosku tersebut. Ini hari Sabtu, kebetulan dia libur. Jadi sepulang dari wawancara bersama Mbak Andin, aku bisa langsung mampir kamarnya, tanpa ke kamarku sendiri terlebih dulu.

"Apa wawancaranya enggak lancar? Kok, mukamu kusut gitu?" Mbak Tiara masih asyik mengoleskan krim jerawat di wajahnya, sementara aku sudah mulai berguling-guling di kasurnya tanpa rasa sungkan sama sekali.

"Entahlah. Kalau dikatakan berhasil, enggak juga. Aku banyak bikin kesalahan. Tapi, dibilang gagal juga kayanya enggak, Mbak. Karena Mbak Andin keliatan puas sama hasil wawancaraku."

"Lalu?" Mbak Tiara mengalihkan tatapan dari cermin ke arahku, yang sudah tengkurap memeluk bantal menghadap ke arahnya. "Kok, kucel bener wajahmu? Ada masalah?"

Aku menggeleng pelan. "Enggak tau ini masalah apa enggak, tapi aku ngerasa enggak nyaman."

"Cerita, dong!" Mbak Tiara kembali mengoleskan krim ke wajahnya sambil menatap cermin.

Aku diam sejenak, menimbang apakah perlu menceritakan ke Mbak Tiara atau tidak. Namun, akhirnya aku memilih bercerita saja. "Itu, Mbak. Mas Guruh tadi WA mau jemput aku dan antar pulang karena sekalian dia mau ke Palur katanya."

Mbak Tiara kembali menatapku, ekspresinya sangat antusias. "Lalu?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Aku enggak jawab, dan pulang naik ojol tadi."

"Hm?" Mbak Tiara mengerutkan kening. "Kamu telat baca WA Mas Guruh, dan terlanjur pesen atau udah pulang naik ojol gitu? Ya udah, cepet minta maaf sana!"

"Enggak, Mbak." Aku duduk dengan tiba-tiba, tetapi masih memeluk bantal. "Aku udah baca WA Mas Guruh, bahkan saat masuk kafe dan sedang nunggu Mbak Andin datang."

Mbak Tiara makin mengerutkan kening. Aku bisa melihat pertanyaan 'lalu masalahnya di mana?' di ekspresi wajah Mbak Tiara. Setelah menghela napas, aku melanjutkan, "Tapi, emang sengaja enggak mau pulang bareng Mas Guruh."

"Kok, bisa? Maksudku, kamu tumben banget nolak Mas Guruh. Mas Guruh, lho, ini. Kenapa? Ada masalah?" Mbak Tiara beranjak dari depan cermin dan berjalan ke arahku, lalu duduk di sampingku.

Aku menggeleng pelan. "Enggak tau, Mbak." Aku menunduk menatap bantal dalam pelukanku. "Aku cuman ... pengen hindari Mas Guruh aja sampai beberapa waktu ke depan."

Hening melingkupi kamar Mbak Tiara, karena kami berdua saling terdiam. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, dan sepertinya Mbak Tiara bingung harus berkomentar apa, atau sengaja menunggu aku melanjutkan cerita.

Aku tiba-tiba mendongak. Kutatap Mbak Tiara yang tengah melihat khawatir ke arahku, dan berkata, "Mbak, menurut njenengan aku anaknya apa egois?"

"Hah?" Mbak Tiara mengangkat kedua alisnya.

"Masa iya, aku punya pikiran enggak jelas tentang Mas Guruh. Kesel banget saat dia beberapa kali bahas Mbak Andin padahal kita lagi berdua. Dan lagi, tadi Mbak Andin pun santai banget bilang kalau Mas Guruh itu someone special dia. Enggak cuma dia katanya yang anggap Mas Guruh kaya gitu, tapi anak-anak lain kaya Mbak Valerie, Mas Caesar, Mas Wira, dan anak-anak Youngspirit lain. Rasanya entah kenapa kesel aja. Berarti, kan, Mas Guruh selama ini baik sama aku bukan karena aku spesial buat dia, tapi karena Mas Guruh emang gitu ke semua orang, to?"

Mbak Tiara tidak menjawab. Dia justru menatapku intens, dengan ekspresi yang sama seperti Mbak Andin saat menatapku di wawancara tadi, tepatnya saat aku menolak mengakui bahwa orang yang paling memotivasiku mendaftar beasiswa adalah Mas Guruh.

Aku benci ekspresi itu. Karena aku tak bisa menerka, apakah Mbak Tiara tengah merasa kasihan, khawatir, atau miris padaku. Sehingga aku menghela napas dan kembali merebahkan diri dengan agak kasar ke kasur.

Eunoia [Completed]Where stories live. Discover now