21 | Suffer

2.4K 422 17
                                    

Selama seminggu, yang kudengar adalah suara tangis Ibu setiap setelah pukul dua pagi. Sesekali memanggil Bapak, dan setelah menjalankan salat Subuh beliau akan tertidur. Ketika bangun, yang pertama beliau cari adalah Rendy. Ketika adikku itu datang dengan ketakutan, Ibu justru akan memarahinya lebih keras.

"Gara-gara kamu nakal bapakmu itu mati! Anak lanang tapi ra nduwe dugo¹³! Harusnya kamu bisa jadi tumpuannya ibu dan mbakmu! Anak nakal! Anak nakal!" Dan setelah itu, Rendy yang masih 14 tahun tersebut akan terisak-isak, tetapi tidak beranjak dari samping Ibu, meski beliau akan memukul-mukul lengannya dengan keras sambil terus berteriak-teriak.

Dari kamar sebelah aku tak bisa melakukan apa pun. Hanya diam sambil meringkuk di atas kasur, menarik selimutku sampai leher. Tetangga dan kerabat jauh sempat datang silih berganti selama kurang lebih lima harian. Namun, setelahnya mereka tak lagi ke sini.

Hanya tetangga kanan kiri rumah yang membantu kami menyiapkan acara doa bersama tujuh harian Bapak, yang diadakan secara sederhana karena keterbatasan uang. Meski kami mendapat santunan keluarga miskin dari Pemerintah Desa, itu hanya cukup untuk menutup biaya pengobatan Bapak yang sebagian tidak ter-cover oleh jaminan kesehatan masyarakat miskin.

Uang yang kukirim ke Ibu tinggal sedikit, dan sudah dialokasikan untuk utang bulanan ke bank, bayar listrik dan air, serta utang koperasi, yang meski kami sedang dalam keadaan berduka pun tetap harus terus kami bayar tanpa ada keringanan sedikit pun.

Sementara uang Rendy sudah diserahkan ke sekolah untuk tabungan tour dan untuk tabungan biaya kebutuhan dia jika ada sesuatu yang urgent. Lalu, uangku sendiri dipakai untuk memberikan ganti rugi kerusakan sepeda motor dan biaya perawatan anak lelaki yang dihajar Rendy.

Ya, Sabtu malam sehari sebelum Bapak tidak sadarkan diri, Ibu menceritakan semua detail tentang Rendy yang terlibat perkelahian dengan anak desa tetangga. Ibu pun awalnya tidak tahu, karena Rendy bilang akan menginap di rumah temannya. Ternyata, adik lelakiku itu memukul seorang anak lelaki yang seusia dengannya sampai babak belur dan tulang tangannya patah. Tak cukup sampai di situ, menurut perkataan keluarga korban pemukulan kepada ibuku, Rendy yang juga mengambil batu dan memukuli motor lawannya tersebut.

Pagi buta sekitar pukul setengah dua, keluarga korban dan salah satu pengurus desa tetangga mendatangi rumah kami sambil marah-marah. Memaki Ibu yang kebingungan, meminta pertanggungjawaban berupa uang, dan mengancam akan lapor polisi jika Ibu tidak membayar.

Rendy datang bersama mereka dan menangis ketakutan. Ketika ditanya kenapa dia melakukan itu, adikku itu tidak menjawab dan hanya terus menangis. Ibu yang marah besar meneriaki Rendy, hingga Bapak terbangun. Paman dari anak yang dipukul Rendy dengan teganya mendatangi Bapak yang tak berdaya dan masih memanggil-manggil Ibu itu, lalu mengatakan sesuatu yang membuat Bapak langsung terpukul.

"Pantas tidak bisa mendidik anak lelakinya dengan baik, dan istrinya juga tidak mau bertanggungjawab. Sudah miskin harta, kelakuan juga tidak bagus! Pantas dihukum sakit sama Tuhan!" Perkataan itu tentu saja menyakiti Bapak, hingga selepas waktu subuh, ayahku itu akhirnya tak sadarkan diri.

Dokter mengatakan Bapak mengalami pendarahan selaput batang otak. Tekanan darah terakhir beliau sebelum meninggal pada hari Minggu pukul 10.30 adalah 190/110 mmHg. Selain itu, dokter juga mengatakan ada serangan jantung mendadak yang membuat Bapak makin sulit tertolong.

Entah siapa yang harus aku salahkan sekarang. Apakah Rendy yang menyulut masalah hingga membuat Bapak meninggal? Ataukah Ibu yang terlalu emosi hingga membuat Bapak terbangun pagi itu dan akhirnya mendengar perkataan yang tidak pantas? Atau justru aku yang jarang pulang kampung karena terlalu sibuk bekerja dan mengurus skripsi?

Eunoia [Completed]Where stories live. Discover now