12 | Hesitation

2.8K 450 32
                                    

"Mbak, kalau makan fokus dulu, jangan sambil ngelamun."

Suara Rafif membuyarkan lamunan yang sejak tadi membuatku tak sadar mengaduk soto ayam yang ada di meja. Kami berdua tengah makan siang bersama di sebuah warung makan dekat SDI Cahaya Ummat, setelah selesai menjalankan kegiatan relawan Trust Me.

Aku segera mengangguk sambil meminta maaf. Kutatap sotoku dan entah kenapa rasanya tidak selera makan lagi. Padahal nasinya masih setengah. Entahlah, pikiranku selama dua hari ini agak terganggu karena dua beban. Keinginan mendaftar beasiswa dan memikirkan bagaimana reaksi orang rumah kalau tahu aku nekat mendaftar. Ya, memang belum tentu diterima, sih. Namun, kalau takdir Allah nantinya justru keterima, bagaimana?

"Ada apa, sih, Mbak? Kalau mau cerita, aku siap dengerin, kok." Rafif kembali bersuara.

Aku mendongak menatap lelaki itu. Dia melihatku dengan eskpresi serius tanpa senyum. Aku bisa merasakan dia tengah mengkhawatirkanku, dan entah kenapa itu membuat hatiku terasa hangat.

"Makasih, Fif. Tapi, aku enggak enak nanti malah repotin kamu." Aku menggeleng pelan, lalu kembali menyendokkan soto ke mulutku.

"Kok, merepotkan? Emang Mbak Mala mau minta diantar ke mana? Atau mau pinjam uang?"

Aku menatap Rafif lagi, dengan kening berkerut tentunya. Sementara lelaki itu langsung tertawa dan kembali berkata, "Enggak, to? Kalau cuma mau berbagi keluh kesah, itu enggak bakal repotin aku, Mbak. Ada kaitannya dengan skripsi, ya? Udah cerita sama Ibu?"

Nah, ini dia. Akhirnya Rafif menyinggung tentang dirinya yang sudah tahu bahwa aku adalah bimbingan ibunya. Memang sudah kuduga kalau Bu Rukmana pasti akan bertanya ke Rafif, setelah kuceritakan tentang aku yang bergabung dalam Youngspirit. Namun, setelah itu memang baik ke Bu Rukmana maupun ke Rafif, aku tak menyinggung apa pun lagi. Baik tentang aku yang bimbingan Bu Rukmana ke Rafif, atau tentang aku yang ber-partner dengan Rafif ke Bu Rukmana.

"Belum cerita ke Bu Rukmana, sih, Fif." Aku menyuap lagi satu sendok nasi ke mulutku. Mengunyahnya sampai kutelan, lalu berkata lagi, "Karena aku mau mantepin dulu. Kalau emang udah mantep dan ikut seleksi, aku baru akan cerita ke beliau."

"Ya, kan, enggak ada salahnya cerita-cerita, Mbak. Ibu orangnya, kan, santai juga. Bisa diajak ngobrol enak." Rafif tiba-tiba menatapku intens. "Tapi, tunggu! Seleksi? Seleksi apa, Mbak?"

Ah, aku kelepasan bicara. Aku tersenyum kikuk. Meski begitu, entah kenapa aku tak menyesal keceplosan, karena sudah kuputuskan sebaiknya memang bercerita ke Rafif sekarang. Tak ada salahnya, bukan? Toh, aku hanya ingin membagi sedikit ganjalan dalam hatiku. Siapa tahu, meski lebih muda, Rafif bisa memberikan nasihat layaknya sosok yang lebih dewasa. Seperti Diah kalau sedang dalam mode bijaksana.

"Jadi gini, Fif." Aku menyedot es tehku sebentar, lalu melanjutkan, "Dua hari lalu setelah aku sempro, Mas Wira telepon dan ngasih tau kalau ada informasi pendaftaran beasiswa ke Inggris. Manchester sama Nottingham. Bisa S-2, riset, atau pertukaran pelajar. Itu emang dikhususkan buat mahasiswa tingkat akhir. Dari Solo, angkatan kita yang direkomendasikan itu aku, Cheryl, dan Gita. Karena kami, kan, yang udah tingkat akhir. Dan brosur digital udah dikirim Mas Wira ke aku."

Aku diam sejenak, menunggu reaksi Rafif yang masih menatapku dengan intens. Karena dia tak bereaksi apa pun, jadi aku menganggap bahwa lelaki itu pasti sedang menungguku melanjutkan cerita.

Aku menghela napas. "Dan aku masih bingung. Tesnya ada TPA dan pengetahuan tentang bidang kuliah masing-masing, itu dilakukan secara online. Setelahnya ada wawancara dengan Mbak Andin selaku PJ bagian Solo. Kalau lolos, baru aku ke Jakarta buat konsultasi mau masuk kampus mana dan didampingi untuk seleksi masuknya ke kampus tersebut."

Eunoia [Completed]Where stories live. Discover now