26 | Wrong Assumption

2.7K 464 25
                                    

Aku hanya bisa menunduk menatap kedua tanganku yang bertaut, karena Mbak Andin menatapku dengan tajam. Jujur, aku merasa terintimidasi. Terlebih ketika aku sadar bahwa sepertinya perempuan itu kurang bisa menerima alasanku mundur dari penerima beasiswa  karena ingin fokus bekerja membantu keluarga.

Mbak Andin bilang, "Kalau alasannya itu, kamu bisa kerja sambilan di sana. Ada macam-macam penelitian yang selain mendukung skill juga memberimu gaji lebih dari cukup. Lagi pula, kamu enggak harus ambil beasiswa S-2 kalau masa studinya menurutmu kelamaan. Beasiswa pertukaran pelajar yang mengambil kelas skill aja juga bisa. Lumayan buat nambah sertifikat keahlianmu nanti."

Iya, sebenarnya bisa diakali seperti itu. Mirip dengan rencanaku saat Bapak masih hidup dulu. Kalau alasanku karena Bapak sudah meninggal juga rasanya aneh. Karena sejak Bapak tidak mampu memberi nafkah, aku memang sudah mengambil alih sebagai pencari nafkah utama bahkan sebelum kuliah di UNS.

Jadi, sebenarnya tak ada bedanya apakah Bapak masih hidup atau meninggal. Karena sebenarnya aku sama-sama bisa mengambil beasiswa itu. Lagi pula, kalau aku keberatan mengambil beasiswa S-2, aku bisa mengambil beasiswa riset yang hanya enam bulan sampai setahun, atau beasiswa pertukaran pelajar yang rata-rata maksimal hanya tiga bulan.

Aku sendiri awalnya bingung kenapa memutuskan tidak mengambil beasiswa itu dan ingin keluar dari Youngspirit begitu proyek Trust Me selesai. Kalau ke orang-orang tentu saja aku mengatakan ingin fokus untuk membantu keluarga. Ya, memang. Aku ada niat selepas lulus kuliah akan kembali ke Ngawi.

Masalahnya, meskipun aku di Ngawi juga tidak perlu sampai keluar dari Youngspirit pun sebenarnya tidak masalah. Karena pertemuan bisa dilakukan lewat aplikasi Zoom, atau kalau memang dibutuhkan tatap muka, masa iya aku tidak bisa menyempatkan diri ke Solo yang jarak dari rumahku hanya sekitar setengah jam kalau naik bus umum itu?

Dasar, Mala! Susah sekali mengakui kalau sebenarnya alasan menjauh dari semua hal tentang Youngspirit adalah karena tak ingin bertemu lagi dengan Mas Guruh. Saat ini aku memang masih membutuhkan uang, sehingga belum bisa mengajukan resign dari memberi les privat si Kembar. Nanti kalau sudah lulus kuliah dan siap pulang Ngawi, aku akan mengajukan pengunduran diri.

"Apa karena Mas Guruh?"

Skakmat! Sudah kuduga tak hanya karena mau membahas masalah beasiswa saja, tetapi pasti Mbak Andin sudah tahu ada sesuatu yang terjadi antara aku dan Mas Guruh. Aku yang memergoki Mas Guruh bercerita tentang Bu Devi ke Mbak Andin, sudah bisa mengira bahwa Mas Guruh juga pasti cerita masalah pribadinya yang lain ke perempuan tersebut. Mungkin bukan sebagai mantan tunangan yang masih memendam rasa seperti perkiraanku sebelumnya. Namun, lebih ke seorang kakak yang tengah curhat ke adiknya.

Jadi, bagaimana? Apa aku jawab saja sejujurnya ke Mbak Andin? Atau mencari alasan?

"Kalau emang iya. Alasanmu konyol." Mbak Andin mengambil cangkir dari atas meja, dan menyesap pelan macchiato di dalamnya.

"Aku enggak tau gimana pandanganmu ke Mas Guruh. Tapi, menjauhi orang tanpa alasan yang jelas itu membuatku kesal, Mala." Mbak Andin meletakkan cangkirnya kembali ke meja. Dia lalu menatapku tajam, membuatku tak sadar menelan ludah.

"Aku pernah tiba-tiba menghilang dari kehidupan Lingga selama enam tahun tanpa memberi tahu dia alasannya. Tiba-tiba pergi gitu aja. Dan setelah enam tahun berlalu, aku kembali ke hadapannya dengan status sebagai tunangan Mas Guruh, lalu memintanya kembali memperlakukanku dengan baik seperti dulu lagi."

Mbak Andin menyilangkan kakinya. "Gimana perasaanmu kalau kamu jadi Lingga?"

Aku menggeleng kebingungan. Jadi, kenapa Mbak Andin justru bercerita tentang masa lalunya? Oh, apakah dia sedang mencoba menasihatiku tentang sesuatu dan dihubungkan dengan kondisi nyata yang pernah dia alami?

Eunoia [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang